REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Haedar Nashir
Dulu, namanya Yatsrib. Sebuah dusun besar di utara Makkah jazirah Arabia. Dari kawasan pertanian inilah justru sejarah risalah Islam yang dibawa Muhammad SAW berubah wajah dan menentukan masa depannya.
Nabi memberi nama Yatsrib dengan Madinah dalam banyak sifat. Ia disebut al-Mubarakkah (yang diberrkahi), al-Marhumah (yang dicintai), al-Najiyah (yang terjaga kemurniannya), al-Thayyibah (yang terbaik), dan predikat serbabaik lainnya. Paling ternama ialah al-Munawwarah, yang tercerahkan.
Madinah bukan sekadar nama baru dari Yatsrib. Ia simbol sekaligus penanda perubahan watak dan tatanan masyarakat dari kejahiliyahan menjadi bangsa dan peradaban yang tercerahkan. Sebuah quantum menakjubkan dalam sejarah peradaban bangsa Arab. Bahkan Nabi diterima hijrah oleh penduduk tiga agama ini.
Lalu, dari Madinah lahir piagam yang mengikat hidup damai antarsemua golongan majemuk di bawah naungan kearifan kaum Muslimin, yang dikenal Shahifah al-Madinah. Dari kota ini pula meluas gerak pencerahan Islam (the renaisance of Islam) yang membuana ke seluruh benua, sehingga lahir kejayaan peradaban Islam selama 6 abad lebih tatkala Barat saat itu tertidur lelap dalam keterbelakangan.
Dari jantung kota Madinah inilah sejarah pencerahan dunia memperoleh pijakannya yang transenden dan imanen. Islam mengoreksi risalah teologi yang tercemari politeisme, menjadi agama tauhid. Pada saat yang sama meletakkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan sistem kehidupan yang menunjunjung keutamaan keadaban-berkemajuam. Lalu, lahirlah kota peradaban dunia yang cerah-tercerahkan, al-Madinah al-Munawarrah!
Spirit pencerahan
Sungguh tidak tahu persis jantung hati dan pikiran setiap Muslim yang menjadi tamu Allah di dua kota suci --Madinah dan Makkah-- tatkala berhaji dan berumrah. Adakah semua datang lebih dari sekadar beribadah-mahdhah dengan spirit berlebih, sekaligus berikhtiar memghayati sejarah pergumulan Islam di negeri Arabia ini.
Jutaan insan beriman tiap hari, bulan, dan tahun datang menziarahi dua kota suci umat Islam itu. Di antaranya yang menuntut ilmu-ilmu keagamaan, yang tentu saja setelah pulang diharapkan menjadi penyebar risalah Islam mewarisi jejak perjuangan Nabi sebagai warasat al-anbiyaa. Bukan sebagai pengekor, tetapi tampil selaku sosok uswah hasanah sekaligus mujtahid kemajuan.
Apakah mereka yang datang ke Makkah dan Madinah dalam beragam kehadiran itu dapat memgambil i'tibar untuk gerak pencerahan membangun peradaban Islam yang menyebarkan rahmatan lil-'alamin sebagaimana ditorehkan Nabi dengan sejarah emas? Harapannya demikian. Satu di antara yang berhasil mengambil api pencerahan itu di masa silam ialah Muhammad Darwisy alias Haji Ahmad Dahlan Sang Pencerah.
Kita berharap generasi muslim baru mampu menangkap api penecarahan Islam dalam simbol al-Madinah al-Munawwarah itu. Sebab, sungguh Risalah Islam yang dibawa Nabi akhir zaman itulah yang mengubah secara revolusioner dunia ke-Araban yang jahiliyah menjadi bangsa berperadaban utama, yang memmancarkan sinar pencerahannya ke seluruh dunia.
Pasca-Nabi wafat dan kekhalifahan utama Islam menyebar ke seluruh dunia. Dari kota peradaban itu selama enam abad lahir peradaban Islam yang jaya, yang melambungkan para ilmuwan ternama dan penguasa arif-bijaksana. Peradaban sebagai puncak kebudayaan insan beriman yang membangun mutiara-mutiara kebajikan utama di seluruh semesta.
Islam itu sungguh memancarkan cahaya pencerahan. Cahaya at-tanwir yang membebaskan umat manusia dari kegelapan menuju sinar terang peradaban (QS al-Baqarah: 234). Cahaya kebenaran, kebaikan, dan keutamaan hidup yang berpangkal dari tauhid dan membuahkan ihsan dalam hidup kemanusiaan sejagad raya. Pencerahan yang melahirkan sosok masyarakat tengahan yang adil dan terpilih (ummatan wasatha), yang mampu menjadikan umatnya sebagai syuhada 'ala al-Nas yang mengubah nasib zaman menjadi berkemajuan.
Pesan Islam yang utama juga ingin menghadirkan keadaban mulia. Sebagaimana Nabi bersabda, bahwa "Aku tidak diutus seain untuk menyempurnakan akhlak mulia". Agar manusia, lebih-lebih yang beriman dan berislam, niscaya berbuat segala sesuatu dengan perangai yang utama. Nabi akhir zaman itu sendiri bahkan menjadi role-model akhlak mulia itu (QS Al-Ahzab: 21 ; al-Qalam: 4).
Keadaban yang diajarkan Nabi bahkan detail. Termasuk dalam setiap ujaran berbingkai hifdz al-lisan. Bahwa seorang muslim, apalagi para pembawa risalah dakwah, harus bertutur kata yang benar, baik, dan pantas. Jangan sampai bermuatan dusta, nista, dan sarat ketidakpatutan yang menyebarkan benih kebencian, amarah, permusuhan, dan amuk massa. Setiap kata yang keluar harus beradab dan mencerahkan, apalagi kalimat dakwah, yang menularkan energi kemuliaan.
Pascahijrah
Madinah disebut pula sebagai Darr al-Hijrah. Momentum risalah Islam yang mencerahkan dimulai tatkala nabi hijrah ke daerah damai ini. Sebuah transformasi sosial secara drastis dimulai dengan mengubah wajah bangsa Arab yang semula penyembah berhala menjadi bertauhid. Dari budaya yang menista kaum Hawa menjadi termuliakan dalam relasi yang setara dan bermartabat. Dari praktik ekonomi kapitalis yang kotor menjadi halalan-tahyyiba.
Bangsa Arab yang semula memiliki tabiat konflik, kekerasan, dan pertumpahan darah dicerahkan akal-budinya hingga menjadi masyarakat yang mampu menyelesaikan masalah dengan cara damai berkeadaban. Islam telah mengubah watak keras dan kasar menjadi berakhlak mulia yang luhur. Tatanan kehidupan pun berubah menjadi demokratis, cerdas, dan berilmu. Nabi dan para sahabat menjadi aktor pembentuk peradaban baru yang mencerahkan itu.
Lalu, sekitar 12 tahun setelah itu, Nabi bersama kaum muslimin membebaskan kota Makkah. Nabi Muhammad bersama sepuluhribu kaum muslimin membuka jantung kota Arabia itu. Di sana tak ada politik balas dendam, meski kaum jahiliyah itu melanggar perjanjian Hudaibiyah. Apalagi pertumpahan darah.
Nabi memasuki Kota Makkah sungguh membawa misi damai. Allah Yang Maha Rahman Rahim pun menamanya Fathu Makkah, terbukanya Kota Makkah. Bukan penaklukkan. Meski berpuluh tahun Nabi akhir zaman bersama umatnya dinista, diisolasi, dan diserbu tiada henti. Penduduk setempat yang selama ini memusuhi Nabi dan umat Islam diberi pilihan beriman atau tidak tanpa tekanan.
Sebagian umat Islam sempat terjangkiti euforia. Mereka karena gembira atas kemenengan yang ditunggu puluhan tahun itu, menyuarakan pekik "hadza yaum al-malhamah". Inilah hari takdir buruk bagi rakyat Makkah. Nabi segera mengingatkan umatnya agar bersikap utama dan menggelorakan pesan mulia: hadza yaum al-marhamah. Inilah hari kasih sayang. Lalu, turunlah wahyu Allah pada Surat An-Nashr: "Jika datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau lihat manusia masuk ke dalam Agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka sucikanlah (dirimu) dengan memuji nama Tuhanmu dan mintalah ampun kepada-Nya" (QS An-Nashr: 1-3).
Sejak itu, Makkah bersama Madinah menjadi kota suci simbol Darr As-Salam. Di sana tidak ada kekerasan, kebencian, dan darah. Bahkan tumbuhan dan hewan pun memperoleh perlindungan. Dari dua pusat Risalah Islam itu memancar pesan Islam yang mencerahkan peradaban semesta. Lahirlah Ummatan Wastha sebagai komunitas yang adil dan teladan, yang berperan selaku Syuhada 'ala al-Nas (QS al-Baqarah: 143).
Maka menjadi tanggung jawab seluruh insan Muslim lebih-lebih para ulama dan tokoh umat dari mana pun asal muasal dan golongannya untuk menampilkan Islam sebagai rahmatan lil-'alamin (QS al-Anbiya: 107). Mereka yang tidak beriman sekalipun harus merasakan rahmat kehadiran Islam, tanpa keharusan berislam jika pilihan hidupnya demikian. Pertanggungjawaban kekafirannya tinggal berurusan langsung dengan Allah Dzat Pemberi hidayah di Yaum al-Akhir kelak.
Kini apakah para insan Muslim di seluruh muka bumi, tak kecuali di Indonesia yang akhir-akhir ini banyak diuji keimanan dan kesabaranya, mampu menampilkan umat terbaik yang membangun peradaban mencerahkan? Alangkah mulia dan utama bila Islam yang hadir di bumi Indonesia tercinta ini juga membawa risalah pencarahan sebagaimana diteladankan Nabi akhir zaman di dua kota suci, Makkah dan Madinah. Bukan menampilkan Islam yang sarat amarah, kebencian, dan permusuhan!