REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin
Beberapa hari ke depan akan berlangsung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di negara kita. Pilkada Serentak kali ini, yang dilaksanakan pada 15 Februari 2017 berlangsung di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Khusus Pilkada Gubernur DKI Jakarta, sebagaimana kita ketahui menjadi isu nasional yang luar biasa menyedot perhatian publik karena ibukota adalah barometer Indonesia. Pilkada Serentak tahun ini digelar di tengah situasi politik, ekonomi, sosial, dan hukum yang menimbulkan rasa prihatin bagi kita bersama.
Tugas dan tanggung jawab politisi dan warga negara adalah menjunjung tinggi asas kejujuran serta menjaga pilkada dari segala hal yang tidak diinginkan baik menjelang, pelaksanaan, maupun setelah pelaksanaannya. Fitnah untuk melumpuhkan lawan-lawan politik atau kelompok kritis, dan politik adu domba merupakan faktor yang merusak kehidupan politik dan demokrasi yang sehat serta bertentangan dengan asas penyelenggaraan negara yang baik dan bersih.
Pilkada maupun pemilu legislatif dan pilpres, meskipun bukan tujuan utama dalam demokrasi, tetapi tak bisa dipungkiri wajah demokrasi sebagian ditentukan melalui proses dan mekanisme pemilihan yang bersifat langsung tersebut. Dalam pelaksanaan pilkada, seluruh rakyat yang mempunyai hak pilih di suatu wilayah akan memilih calon kepala daerah dalam hal ini gubernur, bupati dan wali kota dari pasangan calon yang telah menawarkan visi, misi dan program serta berkampanye untuk merebut simpati dan suara pemilih.
Para calon kepala daerah yang akan dipilih, sebagian ada yang telah menjabat dalam periode sebelumnya kemudian mencalonkan diri kembali, atau yang baru pertama kali mencalonkan diri. Calon kepala daerah yang sedang menjabat (incumbent) sudah diketahui kualitas pribadi dan kepemimpinannya dalam arti yang baik atau sebaliknya.
Sementara, calon yang belum pernah menjabat, mereka dipilih berdasarkan kiprahnya di tengah masyarakat serta visi, misi dan program yang disampaikan sebagai janji-janji kampanye. Masyarakat yang sebagian besar memiliki nalar politik yang masih rendah boleh jadi memilih kepala daerah hanya berdasar popularitas semu dan penampilan fisik, tanpa pertimbangan yang bersifat substansial dan jangka panjang.
Kesuksesan pilkada, pemilu legislatif dan pilpres sejatinya tidaklah hanya diukur dari pelaksanaan dan penetapan hasilnya yang aman dan tidak menimbulkan gejolak, tetapi diukur dari apakah pemilihan tersebut menghasilkan terpilihnya pemimpin yang amanah dan mampu membawa rakyat yang dipimpinnya kepada kesejahteraan lahir dan batin.
Dalam sudut pandang Islam sebagai agama yang mengatur seluruh segi kehidupan manusia, memilih pemimpin bukanlah semata-mata urusan duniawi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan agama. Memilih pemimpin pada hakikatnya adalah bagian dari urusan dunia sekaligus akhirat.
Memilih pemimpin bagian dari urusan agama yang sangat penting dan memiliki konsekuensi luas. Islam tidak mengenal dikotomi atau sekularisasi yang memisahkan antara dunia dan akhirat, termasuk dalam memilih pemimpin. Seorang muslim akan menyesal di akhirat nanti apabila salah memilih pemimpin, memilih pemimpin yang mendatangkan mudharat terhadap agama dan kehidupan kaum muslimin.
Betapa pentingnya memilih pemimpin ini sampai jumlah ayat tentang kepemimpinan dalam Alquran lebih dari 14 ayat yang tersebar dalam berbagai surat. Yang intinya ada tiga pokok: pertama, wajib memilih pemimpin yang muslim, memiliki akhlaqul karimah, berpengetahuan serta amanah. Kedua, dilarang kaum muslimin memilih pemimpin yang non Muslim atau kafir, seperti Yahudi dan Nasrani atau agama lainnya. Apalagi jika memiliki perilaku yang buruk dan penuh dengan kedzaliman. Ketiga, termasuk katagori munafik, seorang Muslim yang memilih pemimpin non Muslim.
Salah satu tokoh Islam dan pemimpin bangsa yaitu Mohammad Natsir (Allahu Yarham) pernah mengingatkan; apabila para pemimpin rakyat pada suatu saat tidak lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan bukan lagi menjadi alat, maka yang akan mengancam negara kita ialah demokrasi tenggelam dalam “koalisi” dan kemudian koalisi dimakan oleh “anarchie” dan anarchie diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata atau golongan yang menguasai golongan-golongan bersenjata itu. Kalau sudah sampai demikian itu, mau tak mau, kita toh terjerumus kepada diktator, malapetaka yang harus kita hindarkan.
Firman Allah SWT tentang wajib taat kepada pemimpin menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan kepada ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya (QS An Nisa’ [4]: 59).
Kewajiban rakyat taat kepada pemimpin atau disebut dengan istilah ulil amri sesuai perintah syar’i, memiliki konsekuensi yang berat, baik terhadap seseorang yang diangkat menjadi pemimpin dan terhadap rakyat yang memilih pemimpinnya. Dalam kaitan ini sifat amanah menjadi kriteria utama bagi pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinan.
Dalam Alquran surah Al Maidah ayat 55, Allah SWT mengungkapkan sedikitnya empat syarat seseorang layak dipilih sebagai pemimpin. Pertama, beriman kepada Allah (Mukmin) dan beragama Islam (Muslim) yang baik. Seorang Muslim, sebagaimana disebutkan dalam surat Yusuf ayat 55 memiliki sifat “hafizhun” dan “alimun”. Hafizhun adalah seorang yang pandai menjaga. Yakni, seorang yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan berakhlak mulia sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya.
Di samping itu seorang pemimpin yang mempunyai sifat Alimun yaitu memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk selalu berusaha sekuat tenaga untuk menyejahterakan rakyatnya, walaupun sumber daya alamnya terbatas. Sebaliknya, pemimpin yang khianat apalagi tidak punya kemampuan dalam memimpin, hanya akan sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarga serta kolega-koleganya, dan membiarkan rakyatnya tak berdaya.
Rasulullah SAW mengingatkan, “Sifat amanah akan menarik keberkahan, sedangkan sifat khianat akan mendorong kefakiran.” Sifat amanah tidak ditentukan oleh kecerdasan atau kepintaran semata. Tetapi sifat amanah merupakan cerminan ketakwaan kepada Allah SWT.
Kedua, untuk menjadi seorang pemimpin menurut Alquran ialah rajin menegakkan shalat. Sebab, shalat adalah barometer karakter dan akhlak manusia. Pemimpin yang baik dan layak dipilih adalah pemimpin yang menegakkan shalat. Shalat melahirkan sifat bertanggung jawab. Kesadaran keimanan/tauhid/transendental dibangun melalui shalat.
Ketiga, untuk menjadi seorang pemimpin harus gemar menunaikan zakat dan sedekah. Zakat itu bukan membersihkan harta yang kotor, melainkan membersihkan harta dari hak orang lain. Dengan demikian seorang pemimpin yang rajin berzakat dan berinfak, tidak akan korupsi. Dia yakin bahwa Allah sudah menjamin rezekinya, dan sesungguhnya rezeki yang halal lebih banyak daripada rezeki yang haram.
Keempat, pemimpin adalah seseorang yang suka berjamaah. Pengertian berjamaah dalam arti luas ialah suka bergaul dengan masyarakat, berusaha mengetahui keadaan rakyat dengan sebaik-baiknya dan mengupayakan solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat. Sifat suka berjamaah atau memperhatikan masyarakat minimal ditunjukkan dalam shalat fardhu berjamaah. Rasulullah setiap selesai shalat fardhu berjamaah lalu duduk menghadap kepada jamaah.
Hal itu mengisyaratkan bahwa imam (dalam hal ini pemimpin) wajib mengetahui jamaahnya dan memperhatikannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Semangat berjamaah atau memperhatikan masyarakat inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Empat syarat di atas seyogyanya menjadi kriteria bagi umat Islam dalam memilih pemimpin baik di level nasional maupun lokal.
Wallahu a’lam bisshawab.