REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha, facebook.com/nasihin.masha
Kali ini ingin bercerita tentang kuliner Solo. Salah satu ciri kota tua adalah kaya kuliner. Ini karena sejarah yang panjang dan beragamnya persinggungan budaya yang dibawa para pendatang. Solo memang kota yang memiliki sejarah panjang. Inilah pusat pemerintahan salah satu kesultanan penting di Jawa:
Namun demikian saya tak cukup akrab dengan kota ini. Maklum jarang singgah. Jika pun berkunjung ke kota ini, hanya sebentar. Kadang cuma pulang-pergi atau cuma numpang lewat. Karena itu tak sempat berselancar menjelajah kuliner kota ini.
Padahal Solo terkenal dengan nasi liwet, tengkleng, tongseng, dan sebagainya. Oleh-oleh penganan yang bisa dibawa pulang pun sangat beragam: serabi Solo, intip, abon, bolu, dan sebagainya. Nah, kali ini saya ingin berbagi soal nasi liwet dan mi Jawa, yaitu nasi liwet Wongso Lemu dan mi Jawa Mbah Blangkon.
Nasi liwet dan bakmi jawa memang mengasyikkan.
Wongso Lemu
Nasi liwet Wongso Lemu memiliki sejarah yang panjang. Kuliner ini untuk makan malam. Maklum baru buka sekitar pukul 16.00, dan tutup hingga malam. Jika lagi sepi bisa sampai pukul 01.00. Namun jika lagi laris bisa habis pada pukul 21.00. Nasi liwet ini dirintis oleh Bu Karto.
Saat itu masih jualan lesehan di emperan rumah orang. Namun nama warung nasi ini justru dinisbahkan ke Bu Wongso, ketika usaha warung nasi itu dikelola Bu Wongso. Ya, Bu Wongso yang lemu (gemuk dalam Bahasa Jawa) itu meneruskan usaha ibunya. Namun Wongso itu bukan namanya. Itu nama suaminya. Sama seperti Karto, itu bukan namanya tapi nama suaminya.
Perempuan Jawa, jika sudah menikah lebih suka disebut dengan panggilan nama suaminya atau nama anak sulungnya. Nah, warung nasi liwet Wongso Lemu ini mulai dikenal sejak tahun 1950, seperti tertulis di warung tersebut. Lalu, sejak kapan Eyang Karto memulai usahanya? Tak ada yang tahu.
Apa sih kuliner nasi liwet ini? Sebetulnya ia jenis makanan yang sudah lumrah. Nasi liwet ini berisi nasi, sayur lodeh papaya, telur pindang seperti yang biasa kita temui di nasi gudeg, dan ayam ungkeb atau ayam bekakak. Lalu diberi santan yang sudah direbus dan mulai mengental, ini yang khas.
Rebusan santan ini berbeda dengan rebusan santan yang menjadi topping pada gudeg Jogja. Rebusan santan ini memberi cita rasa gurih.
Hal itu menimbulkan sensasi tersendiri saat berpadu dengan kunyahan ayam kampung yang cenderung asin. Lalu disajikan dengan pincuk daun pisang dengan tatakan dari anyaman lidi. Rasanya sangat makngglabed. Untuk minumnya kita bisa pesan wedang jahe, cocok dengan udara malam.
Suasana warung nasi liwet
Nasi liwet Wongso Lemu ini sudah masuk generasi keempat. Namun yang utama adalah yang dikelola Bu Parmi, putri Bu Wongso. “Saya sendiri generasi ketiga, tapi dua anak saya juga sudah mengelola sendiri warung nasi liwet Wongso Lemu,” kata Bu Parmi. Ia menyebut nama dua anaknya yang perempuan, Darsini dan Atik Wulandari.
Sedangkan anaknya yang bungsu masih bujangan sehingga belum tertarik untuk buka usaha yang sama. Ya, dalam satu jajaran, ada empat warung nasi liwet Wongso Lemu. Semuanya ditulis “asli”. Satu warung lagi milik kerabatnya. Bu Parmi mengaku setiap hari menghabiskan beras hingga 15 kg.
Di warung ini kita bisa memilih duduk lesehan, duduk di bangku dan meja panjang seperti di warung-warung pada umumnya, atau duduk di bangku panjang tanpa meja sehingga satu tangan memegangi pincukan namun posisinya di hadapan Bu Parmi yang sibuk melayani pembeli.
Mbah Blangkon
Nah, ternyata bakmi Jawa tak hanya ada di Jogja. Solo juga memiliki bakmi Jawa. Rasanya tak kalah nikmat. Racikannya sama. Hanya ada satu perbedaan, jika di Jogja, telurnya sudah pasti telur bebek.
Di Mbah Blangkon ada dua opsi telur. Telur ayam negeri dan telur bebek. Jika kita ke Mbah Blangkon jangan lupa untuk memilih opsi telur yang mana. Seperti halnya bakmi Jogja, di sini pun bakmi dimasak di atas tungku arang. Inilah yang memberi sensasi rasa tersendiri karena aroma uapnya merasuk ke makanan. Rasanya semakngglabed bakmi Jogja di Mbah Mo, Kadin, Jombor, atau Pele.
Penulis (Nashin Masha, kanan) bersama rekan saat makan.
Rupanya wedang jahe sudah menjadi menu spesial di Solo. Wedang jahe di Mbah Blangkon lebih nikmat daripada di Wongso Lemu. Komposisinya pas, baunya lebih harum, jahenya lebih terasa. Namun tak menggigit di perut.
Warung bakmi Mbah Blangkon ini cukup nyaman. Ada tempat parker mobil walau Cuma cukup untuk 3-5 mobil saja. Ada banyak bangku dan meja panjang dengan pembatas warung dari bilah-bilah bamu yang besar. Selamat mencoba.