Warga Minta Presiden Jokowi Selesaikan Kasus Wadas
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Kegiatan inventarisasi, identifikasi, dan pengukuran lahan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo tahap 2 yang dilakukan tim sejak Sejak Selasa (12/7/2022). | Foto: Istimewa
REPUBLIKA.CO.ID, PURWOREJO -- Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) menggelar aksi tolak tambang andesit saat pengukuran dan inventarisasi tanah tahap II. Seratusan warga melakukan aksi bisu keliling desa sampai ke Kantor Desa Wadas.
Salah satu tokoh pemuda Desa Wadas, Siswanto mengatakan, aksi ini ditujukan kepada pemerintah yang terus melakukan pengukuran tanah milik warga di Desa Wadas untuk jadi lokasi tambang batu andesit. Aksi bisa wujud kehabisan kata.
"Kami melakukan aksi bisu karena kami sudah kehabisan kata-kata. Sudah belasan kali kami melakukan protes dan menempuh jalur hukum, tapi pemerintah tidak pernah mendengarkan kami," kata Siswanto kepada Republika, Jumat (15/7/2022).
Aksi bisu dilakukan saat Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo inventarisasi dan identifikasi pengadaan tanah tahap II. Proses pengukuran ke tanah milik warga yang menyerahkan tanahnya untuk ditambang ini dilakukan sejak 12-15 Juli 2022.
Lokasi tambang batu andesit akan mengambil tanah warga sekitar 146 hektare di perbukitan di Wadas. Batu akan digunakan untuk membangun Bendungan Bener yang ditetapkan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang juga terletak di Purworejo.
"Aksi ini bentuk sikap kami kalau masyarakat Wadas tidak takluk dengan uang ganti rugi, kami masih melawan rencana pemerintah menambang batu andesit di lahan pertanian milik kami," ujar Siswanto.
Siswanto menegaskan, Gempadewa masih teguh menjaga alam Desa Wadas karena ingat ajaran kiai-kiai di Desa Wadas. Tambang itu merusak alam dan kewajiban menjaga alam itu harus dilaksanakan seperti kewajiban umat Islam menjalankan shalat.
"Sesepuh Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari pernah mengatakan petani penolong negeri. Jika petani di Desa Wadas tidak punya tanah lagi, maka kami tidak bisa menjalankan fungsi menolong negeri dengan memproduksi berbagai hasil pertanian," kata Siswanto.
Sekitar 13.30 WIB, warga memulai aksinya dari Dusun Randuparang, berjalan menyusuri jalan dan berakhir di Kantor Desa Wadas. Baik pria dan wanita, menutup mulut memakai lakban sebagai simbol mereka kehilangan kata-kata dan bertopi besek.
Itu simbol tradisi wanita Wadas yang akan hilang karena bambu, bahan baku besek akan punah akibat tambang dan membawa bibit tanaman sebagai simbol konsistensi menjaga alam. Anggota Wadon Wadas, Sulimah, turut menempelkan uang di wajah.
Ini merupakan simbol kalau alam sebagai karunia Allah tidak bisa diganti dengan uang. Sulimah menekankan, mereka tidak silau dengan uang ganti rugi miliaran untuk tega merusak alam. Selain itu, warga turut membawa berbagai poster-poster.
"Seperti 'Wadas Harus Lestari', 'Cabut IPL Wadas', atau 'Usut Tuntas Kasus Kriminalisasi terhadap Warga Wadas' dan masih banyak lainnya," ujar Sulimah.
Mewakili Gempadewa, Sulimah menyatakan warga Wadas meminta aparat yang melakukan kekerasan terhadap warga pada 23 April 2021 dan 8 Februari 2022 diadili. Meminta Gubernur Jawa Tengah menghentikan segala bentuk pengukuran dan mau berdialog.
"Kami minta Presiden Joko Widodo segera menyelesaikan kasus di Wadas," kata Sulimah.
Setiba di Balai Desa Wadas, warga berdiam diri 10 menit. Lalu, enam warga maju meletakkan bibit pohon di halaman simbol alam Wadas harus lestari. Sedangkan, poster-poster ditinggal di sekitar balai, dengan harapan pemerintah membacanya.