Ahad 17 Jul 2022 08:06 WIB

Kisah Menggembirakan di Masa Malaise: Kulliyatul Mubalighat Untuk Perempuan Berkemajuan

Kisah memajukan pendidikan kaum perempuan di Sumatra Barat

Perempuan-perempuan Kulliyatull Muballighat berfoto bersama di depan bangunan utama eks Hotel Merapi.
Foto: Fikrul Hanis Sofyan
Perempuan-perempuan Kulliyatull Muballighat berfoto bersama di depan bangunan utama eks Hotel Merapi.

REPUBLIKA.CO.ID,-- Oleh: Fikrul Hanif Sufyan (Pemerhati/Penulis Sejarah, Ketua PUSDAKUM Muhammadiyah Sumbar, dan Pengajar di STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh)

Sejak Tabigh School bertransformaasi menjadi Kulliyatul Muballighien tahun 1936, animo peminat sekolah untuk calon guru agama plus kader pimpinan Islam berkemajuan itu makin meroket.  

Peminat Kulliyatul Muballighien tidak saja dari Sumatra Barat, juga dari Aceh, Sumatra Utara, Bengkulu, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Semenanjung Malaya. Catatan ini, menjadi titik balik tidak terpengaruhnya kemerosotan ekonomi di masa malaise, dengan pertumbuhan sekolah milik Muhammadiyah di Sumatra Barat.

Namun, berdirinya Kulliyatul Muballighien yang hanya dikhususkan untuk laki-laki, menimbulkan kecemburuan dari alumni Muallimat dan Madrasah Tsanawiyah. Mereka menginginkan perlakuan yang sama, seperti yang telah diberikan kepada laki-laki.

Pasca beroperasinya Kulliyatul Muballighien, awal tahun 1936 seluruh alumnus perempuan dari Muallimin dan Tsanawiyah menyampaikan tuntutan, agar Ketua Muhammadiyah Cabang Padang Panjang, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, bersedia membuka sekolah lanjutan khusus untuk perempuan. Namun, usulan ini ditolak. Saalah beralasan, untuk menjadi guru di sekolah telah ada Kweekschoolschool Istri Muhammadiyah di Fort de Kock.

Pada November 1936,  kembali alumni Madrasah Muallimin menuntut Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, segera membuka sekolah lanjutan untuk perempuan. Mereka ingin status dan hak mereka untuk memperoleh pendidikan disamakan dengan laki-laki (Sufyan, 2014). 

Permintaan itu, baru direalisasikan dua tahun kemudian. Tabligh School Istri–resmi berdiri pada 15 Januari 1938. Saalah kemudian menunjuk Jacoeb Rasjid selaku directur Tabligh School Istri. Berselang beberapa bulan pasca berdirinya sekolah lanjutan itu, Muhammadiyah Daerah Minangkabau menggelar openbare vergadering. 

Seperti kurikulum yang ditetapkan pada Tabligh School, sekolah pengkaderan untuk perempuan ini ditetapkan belajar selama dua tahun. Jam pelajaran dibagi menjadi tiga shift: pagi hari pukul 06.00-13.00, sore hari pukul 15.30-17.00, dan malam hari pukul 17.00-21.00. 

Murid-murid perempuan dari Tabligh School Istri yang terdaftar pada tahun 1938 sekitar 17 orang, umumnya berasal dari Sumatra Barat, 1 orang dari Sipirok, dan 1 orang berasal dari Kuala Lumpur Malaysia. Berikut nama-nama murid gelombang I dari Tabligh School Istri Haskim dan Na’iem (1946: 41).

Sejak awal beroperasi, untuk proses belajar-mengajar Tabligh School Istri memanfaatkan ruangan kelas milik Madrasan Tsanawiyah Putri Kauman. Sembilan orang guru laki-laki dikerahkan untuk mengajar murid-murid perempuan, mulai dari A Malik  Ahmad (Guru Kepala), Haroen El-Maany        (Guru fiqh, ushul, ilmu kaimiah), Badroedin Zein (Guru bahasa Arab), Zahrial (Guru bahasa Belanda), Malik Thaher (Guru bahasa Inggris), Abdullah Kamil, Rasjid Idris, Saalah Jusuf  (Guru Organisasi Muhammadiyah), dan Djohan Noerdin  (Guru pembantu). 

Kurikulum yang dirancang untuk Tabligh School Istri memang hampir mirip dengan Kweekschool Istri Aisyiyah di Fort de Kock, di antaranya ilmu agama, kemahiran berbahasa (Arab, Inggris, dan Belanda), ilmu umum, ilmu administrasi dan organisasi. Hanya saja yang membedakan adalah pelajaran kepanduan putri dan ilmu kerumah tanggaan. Mereka yang berhasil menyelesaikan studinya, kembali ke kampung halamannya masing-masing, untuk menggerakan roda organisasi Aisyiyah.

Untuk membiayai administrasi sekolah dan honor guru Tabligh School Istri, setiap murid dibebani uang pendaftaran f 2,5 dan uang sekolah sebesar f 2. Dari iuran murid-murid ini, guru Tabligh School Istri bisa menafkahi keluarganya. Untuk guru senior diberikan honor sebesar f 7,5 dan untuk guru muda/pembantu diberikan honor f 2,5. 

Selama menuntut ilmu, murid-murid itu diajarkan mandiri, serta dibekali berbagai keterampilan. Saalah, juga menyediakan internaat untuk murid yang berasal dari luar Padang Panjang (Sufyan, 2014). Namun yang istimewa dari Tabligh School Istri ini adalah mereka diberikan keleluasaan untuk menyediakan kebutuhannya sendiri dan mengelola koperasi.

Meskipun Tabligh School Istri hadir di tengah keprihatinan ekonomi dan keterbatasan sarana belajar, namun murid-murid perempuan yang memilih sekolah ini tetap semangat belajar. Pertama, semangat dari murid-murid untuk memutus anggapan, bahwa perempuan tidak boleh mendapat pendidikan formal. Kedua, ingin mencerdaskan anak bangsa lewat instelling onderwijs, dan menanamkan kesadaran sebagai bangsa yang merdeka.

Persoalan Tabligh School Istri, pernah menjadi pembicaraan sentral –terutama untuk Hoofdbestuur Aisyiyah dalam Congres Muhammadiyah ke-27 di Malang. Congres yang dilaksanakan tanggal 21-26 Juli 1938, khusus di kalangan perempuan menjadikan Tabligh School Istri sebagai isu utama (Soeara ’Aisjijah, no. 6/7 Ag/Sept 1953 Dz. Hidj/Muharam 1372 Th. XVIII).

Siti Badilah, voorzitter Aisiyah menyoroti pentingnya, untuk menekankan pendidikan kerumah tanggaan–terutama untuk murid-murid Tabligh School yang telah berumah tangga (PP Aisyiyah, t.t: 37; Hayati, 1985: 12). Persoalan rumah tangga yang dimaksud Siti Badilah adalah ilmu memasak, hand werken, ilmu kesehatan, dan memelihara bayi. 

“Oleh karena itu, maka sekolah2 menengah bagi anak2 perempuan itu, hendaklah kita fikir tentang pelajaran kerumah tanggannya, janganlah sampai melupakan,” demikian Siti Badilah menyampaikan harapannya untuk Tabligh School Istri (Dagblad Perantaraan Kita, tanggal 1 Agustus 1938). 

Setahun berjalan, Yacoeb Rasjid dan Malik Ahmad meninjau ulang aktivitas belajar-mengajar di Tabligh School Istri. Perbaikan terhadap struktur kurikulum ada hubungannya dengan kenaikan penerimaan jumlah murid yang awalnya 17 orang (1938) kemudian menjadi 57 orang pada tahun 1939. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement