REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Saran International Moneter Fund (IMF) agar Indonesia lebih bijak dalam mengelola subsidi dinilai tepat. Peringatan ini dianggap relevan mengingat ancaman resesi global akibat eskalasi konflik Rusia-Ukraina tak kunjung menunjukkan tanda-tanda segera berakhir.
“Kami menilai warning yang disampaikan oleh IMF agar subsidi harus benar-benar tepat sasaran harus dijadikan evaluasi pemerintah, karena jika tidak hati-hati, beban subsidi akan kian memberatkan APBN kita,” kata Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi dalam keterangannya, Selasa (19/7/2022).
Direktur IMF Kristina Georgiva menyarankan Indonesia untuk tidak memberikan subsidi secara umum, karena orang-orang kaya dapat turut menikmatinya. Langkah ini agar perekonomian Indonesia dapat tumbuh optimal di masa sulit. Hal itu disampaikan saat Kristina Georgiva berkunjung ke Pusat Perbelanjaan Sarinah, Jakarta, Ahad (17/7/2022).
Fathan meminta pemerintah meningkatkan pengawasan penyaluran subsidi agar tepat sasaran, khususnya BBM. Bisa saja model pengawasannya nanti, penerima subsidi mendapatkan barcode khusus di kendaraan masing-masing. Barcode ini kemudian di-scan oleh petugas SPBU yang menyalurkan BBM bersubsidi. Barcode ini juga bisa diberikan kepada rumah tangga penerima subsidi gas elpiji. Dengan demikian, BBM maupun gas subsidi benar-benar bisa diterima oleh mereka yang berhak.
"Barcode lebih simpel, nggak perlu download, cukup mendapatkan stiker dari Pertamina, nanti Pertamina atau penyalur gas subsidi yang scan barcode-nya untuk menunjukkan status konsumsinya," ujar dia.
Fathan mengatakan, beban subsidi APBN hari-hari ini kian berat. Kenaikan harga minyak mentah maupun komoditas pangan akibat eskalasi perang antara Rusia dan Ukraina memberikan dampak besar bagi negara-negara di seluruh dunia.
“Situasi ini harus segera diantisipasi dengan langkah nyata karena kita tidak tahu kapan konflik Rusia-Ukraina ini akan berakhir. Empat bulan saja konflik itu telah memberikan dampak luas ke dunia. Kebangkrutan Srilanka menjadi contoh kongkret betapa besar dampak konflik tersebut ke dunia,” ujarnya.
Sebagai gambaran, lanjut Fathan, akibat kemelut Rusia-Ukraina ini, lonjakan harga minyak mentah jenis brent melompat sampai 51,6 persen dalam setahun terakhir menjadi 113,6 dolar Amerika per barel per 28 Juni 2022. Begitupun dengan harga gas alam (natural gas) yang melonjak sampai 80 persen menjadi 6,6 dolar Amerika per MMBtu per 28 Juni 2022 (yoy).
“Lonjakan harga brent ini membuat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di berbagai negara. Di negara liberal kenaikan harga BBM ini memicu inflasi tinggi. Sementara di negara penganut subsidi seperti kita menjadi beban berat luar biasa bagi APBN,” katanya.
Politisi PKB ini menegaskan, tidak ada yang salah dengan kebijakan subsidi pemerintah ini. Hanya saja, agar APBN tidak jebol, maka subsidi ini benar-benar harus tepat sasaran. Jangan sampai subsidi yang harusnya dinikmati oleh mereka yang membutuhkan akhirnya dinikmati oleh segelintir orang-orang kaya.
“Akan sangat tidak tepat jika subsidi BBM misalnya ternyata hanya dinikmati oleh orang kaya untuk membiayai kegiatan industri mereka. Jadi memang harus segera diatur bagaimana subsidi energi ini benar-benar tepat sasaran,” ujar Fathan.