REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Regenerasi petani di Indonesia menjadi salah satu pekerjaan yang berjalan lambat. Padahal kelangsungan regenerasi sangat menentukan masa depan sektor pertanian.
"Regenerasi petani merupakan salah satu kunci untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas pertanian. Sayangnya usia mayoritas petani di Indonesia sudah tua, hanya delapan persen yang berusia di bawah 40 tahun," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi, Kamis (18/8/2022).
Pendapatan petani yang tidak mampu menjamin pemenuhan kebutuhan hidup merupakan salah satu alasan dibalik mengapa pertanian tidak menarik sebagai sumber pencaharian, terutama bagi kaum muda.
Mengacu data BPS, upah nominal buruh tani nasional pada Juni 2022 mencapai Rp 58.337 per hari, atau meningkat 0,18 persen dari upah pada Mei 2022 dan 2,71 persen kalau dibandingkan dengan upah pada Juni 2021.
Namun, kenaikan ini berbanding terbalik dengan upah riil, yaitu perbandingan antara upah nominal buruh tani dengan indeks harga konsumsi rumah tangga pedesaan, yang menurun sebesar 1,03 persen.
Azizah menjelaskan, meskipun ada peningkatan kesejahteraan, petani masih menghadapi berbagai tantangan, seperti tingginya ongkos produksi, kesulitan mendapatkan pupuk, subsidi maupun non subsidi, hingga risiko gagal panen.
Harga pupuk nonsubsidi pun melonjak sejak pecahnya konflik Rusia dan Ukraina. Sementara kelangkaan pupuk subsidi bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari petani.
Akses kepada teknologi pertanian juga belum meluas dan bantuan alat mesin pertanian juga masih terbatas dan seringkali belum tepat guna. Lahan pertanian pun semakin menciut akibat alih fungsi menjadi kawasan perumahan atau industri.
Berbagai faktor ini serta potret petani yang identik dengan berkotor-kotor dan pendidikan yang rendah, akhirnya mendorong orang muda untuk mencari kerja di daerah perkotaan dan di luar sektor pertanian.
Berdasarkan data SUTAS BPS tahun 2018, sebanyak 66,42 persen tenaga kerja sektor pertanian tidak sekolah atau tidak tamat sekolah dasar sementara 16,13 persennya hanya lulusan sekolah lanjutan tingkat pertama.
Adopsi teknologi pertanian yang masif akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi dan juga mendongkrak citra pertanian sebagai sektor yang juga mampu mengikuti perkembangan zaman.
Namun ini memerlukan investasi berkelanjutan untuk membuatnya terjangkau bagi petani dan mendorong adopsinya yang masif.
Semakin terbatasnya lahan menekankan pentingnya intensifikasi untuk pertanian yang berkelanjutan dan model pertanian urban. Juga diperlukan perbaikan akses petani pada pupuk, adopsi teknologi pertanian yang masif dan terjangkau serta perluasan akses pasar.
"Presidensi Indonesia di G20 juga harus dapat dimanfaatkan untuk mendorong agenda regenerasi petani. G20 dapat dijadikan sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan mengenai teknologi dan praktik pertanian berkelanjutan yang selanjutnya dapat diadopsi oleh orang muda," kata dia.