REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menghormati keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malang terhadap JE dalam kasus kekerasan seksual.
Dalam persidangan tersebut, JE divonis hukuman pidana penjara selama 12 tahun dan denda sebesar Rp300 juta atau subsider 3 bulan kurungan.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar mengatakan keputusan tersebut diharapkan dapat melindungi hak-hak korban kekerasan seksual. Termasuk memberikan efek jera, tidak hanya bagi terpidana, tetapi juga mencegah adanya pelaku kekerasan seksual lainnya.
"Kami menghormati keputusan Majelis Hakim sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, meskipun hukuman pidana penjara yang dijatuhkan lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yaitu 15 tahun penjara," kata Nahar dalam keterangan pers pada Sabtu (10/9/2022).
Nahar juga mengapresiasi Majelis Hakim atas keputusan restitusi sebesar Rp44,7 juta kepada salah satu korban. Restitusi tersebut wajib dibayarkan oleh JE paling lama sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Apabila terpidana tidak membayarkan restitusi tersebut, maka hartanya akan disita oleh Jaksa untuk dilelang guna membayarkan restitusi tersebut. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)," ujar Nahar.
Dalam pembacaan keputusan Majelis Hakim, JE dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan seksual dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan, sesuai pasal 81 ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi UU.
“KemenPPPA juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas upaya JPU yang telah berhasil meyakinkan Majelis Hakim dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga Majelis Hakim memperoleh keyakinan tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa yang melakukannya,” tutur Nahar.
Melihat maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, bahkan di institusi pendidikan, Nahar mengajak masyarakat yang mengetahui atau mengalami kasus kekerasan untuk berani bicara dan melaporkan ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU TPKS, seperti UPTD PPA, UPT Bidang Sosial, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian.