REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 50 bps pada September 2022 menjadi 4,25 persen dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM. Selain dalam rangka meredam tekanan inflasi khususnya menjangkar inflasi inti, kenaikan suku bunga acuan BI juga ditujukan untuk menjaga stabilitas rupiah.
Ini merupakan langkah pre-emptive dan forward looking merespon kenaikan inflasi domestik. Rupiah juga terus melemah di tengah sentimen global dari normalisasi suku bunga acuan Fed di tahun ini yang lebih agresif dari perkiraan sebelumnya.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan keputusan BI yang menaikkan suku bunganya lebih tinggi dari ekspektasi pasar berpotensi mendukung penguatan rupiah terbatas. Namun disisi lainnya, terdapat potensi yield surat utang negara meningkat terbatas.
"Hingga akhir tahun ini The Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga acuan hingga 4,5 persen, sementara BI juga diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya hingga level 5-5,25 persen dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar," katanya pada Republika, Jumat (23/9).
Pada akhirnya, ini akan mendukung kondisi pasar SBN agar tidak makin melemah. BI juga mendorong kebijakan operation twist dari BI untuk membatasi kenaikan yield tenor jangka panjang dan yang di saat sama mendorong daya tarik SUN dengan tenor jangka pendek.
Lebih lanjut lagi, kata Josua, pemerintah berupaya menjaga defisit APBN 2022 agar lebih rendah dari empat persen terhadap PDB. Hal ini untuk mengarahkan defisit APBN 2023 maksimal tiga persen terhadap PDB yang diperkirakan akan mendorong daya tarik portofolio asing. Mengingat sebagian besar negara lain masih diliputi isu tingginya rasio hutang dan defisit fiskal.
"Dari beberapa faktor tersebut, maka pergerakan yield 10 tahun hingga akhir tahun diperkirakan akan berkisar 7-7,5 persen," katanya.
Dampaknya pada perbankan, kenaikan suku bunga acuan BI diperkirakan berpotensi juga berdampak pada sektor riil dan pasar keuangan. Perubahan suku bunga acuan BI akan direspon oleh suku bunga PUAB yang selanjutnya akan berpengaruh pada kenaikan suku bunga perbankan termasuk suku bunga kredit perbankan.
Meskipun demikian, proses transmisi kenaikan suku bunga kredit perbankan cenderung bervariasi mengingat kondisi likuiditas dan risk appetite masing-masing juga bervariasi. Meskipun secara keseluruhan, kondisi likuiditas perbankan yang terindikasi dari AL/DPK pada bulan Agustus tercatat di atas 26 persen.
Ini berimplikasi bahwa transmisi kenaikan suku bunga BI terhadap suku bunga perbankan juga cenderung masih terbatas khususnya hingga akhir tahun. Lebih lanjut, terkait dengan risiko kredit, risiko kredit berdasarkan jenis penggunaan, dimana NPL kredit modal kerja tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan NPL kredit investasi dan kredit konsumsi.
Hal tersebut berimplikasi juga, kenaikan suku bunga kredit modal kerja cenderung akan lebih cepat dan atau lebih besar dari kenaikan suku bunga kredit investasi dan suku bunga kredit konsumsi. Kenaikan suku bunga kredit berpotensi akan mendorong kenaikan cost of borrowing pelaku usaha sektor riil yang akan menahan upaya untuk memperkuat momentum pertumbuhan.
Meskipun demikian, kebijakan BI kredibel mempertimbangkan bahwa fokus BI dalam menjaga stabilitas sistem keuangan diharapkan dapat mendukung pemulihan ekonomi yang berkesinambungan. Pertumbuhan kredit pada akhir tahun ini diperkirakan masih akan cenderung solid di kisaran 9-11 persen (yoy) dan pertumbuhan kredit tahun 2023 diperkirakan akan berada di kisaran 8-10 persen (yoy).
"Ini mempertimbangkan penyesuian suku bunga perbankan di tahun 2023 yang akan lebih signifikan dibandingkan penyesuaian suku bunga di tahun 2022," katanya.
Potensi perlambatan ekonomi global akan mempengaruhi kinerja investasi dan ekspor. Kenaikan inflasi yang direspon dengan kenaikan suku bunga acuan BI akan mempengaruhi kinerja konsumsi rumah tangga dan investasi. Ini diperkirakan akan berdampak pada potensi penurunan laju pertumbuhan ekonomi.
Meskipun demikian, dampaknya pada pertumbuhan ekonomi tahun 2022 ini cenderung terbatas. Hal ini karena transmisi suku bunga yang memerlukan waktu penyesuaian setidaknya 2-3 kuartal maka akan berdampak pada penurunan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023.
Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi tahun 2022 diperkirakan akan cukup solid di level 5,0 persen, sementara pertumbuhan ekonomi tahun 2023 diperkirakan akan melambat di bawah level 5,0 persen. Sementara dari sisi pemerintah, pemerintah perlu mengakselerasi belanja produktif dalam rangka menjaga momentum konsumsi dan iklim investasi.