Hamas dan Fatah Sepakat Lakukan Rekonsiliasi
Rep: Kamran Dikarma/ Red: Fernan Rahadi
Warga Palestina di Gaza City, Kamis (12/10), menyambut gembira kesepakatan rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah. | Foto: AP/Khalil Hamra
REPUBLIKA.CO.ID, ALJIR – Dua faksi Palestina yang berselisih, yakni Hamas dan Fatah, telah menandatangani kesepakatan rekonsiliasi di Aljir, Aljazair, Kamis (13/10). Presiden Aljazair Abdelaziz Tebboune menjadi tokoh yang menengahi kesepakatan tersebut.
Upacara penandatanganan digelar semarak di Palace of Nations yang berada di Aljir. Tokoh perjuangan Palestina, Yasser Arafat, pernah menggunakan bangunan tersebut untuk mendeklarasikan kemerdekaan Palestina pada 1988. Selain Abdelaziz Tebboune, seremoni rekonsiliasi Hamas dan Fatah turut dihadiri para duta besar asing.
"Kami menandatangani perjanjian ini untuk menyingkirkan kanker ganas perpecahan yang telah masuk ke tubuh Palestina. Kami optimistis kesepakatan ini bisa dilaksanakan dan tidak akan tinggal tinta di atas kertas," kata ketua delegasi Fatah, Azzam al-Ahmed, dilaporkan laman Al Arabiya.
Ketua Fatah yang juga saat ini menjabat sebagai presiden Palestina, Mahmoud Abbas, tidak menghadiri acara tersebut. Sementara itu pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, secara langsung memimpin delegasi kelompoknya. “Ini adalah hari gembira di Palestina dan Aljazair serta bagi mereka yang mencintai perjuangan Palestina. Namun ini menjadi hari kesedihan bagi entitas Zionis (Israel),” ucap Haniyeh.
Kesepakatan rekonsiliasi terbaru Hamas dan Fatah dikenal dengan 'Algiers Declaration' atau Deklarasi Aljazair. Kesepakatan itu turut ditandatangani faksi-faksi Palestina lainnya. Lewat kesepakatan tersebut, para faksi Palestina setuju menggelar pemilu presiden dan Dewan Legislatif Palestina pada Oktober tahun depan.
Selain itu, mereka pun sepakat menghelat pemilu Dewan Nasional Palestina, sebuah parlemen untuk warga Palestina, termasuk jutaan diasporanya. Aljazair setuju menjadi tuan rumah dewan tersebut.
Para faksi Palestina dilaporkan sudah mengadakan pembicaraan untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional. Namun hal itu tak dituliskan dalam dokumen akhir kesepakatan.
Jalur Gaza dan Tepi Barat terpisah secara politik serta administratif sejak 2007. Penyebabnya adalah kemenangan Hamas dalam sebuah pemilihan umum pada 2006 yang hasilnya ditolak Fatah. Pada Juni 2007, Hamas mulai mengendalikan dan mengontrol pemerintahan di Gaza.
Beberapa upaya rekonsiliasi untuk memulihkan hubungan antara kedua faksi telah dilakukan. Namun usaha tersebut gagal karena Hamas selalu mengajukan syarat-syarat tertentu kepada Otoritas Palestina bila hendak berdamai. Pada Oktober 2017, Hamas dan Fatah akhirnya menandatangani sebuah kesepakatan rekonsiliasi di Kairo, Mesir. Penandatanganan kesepakatan ini menjadi simbol keinginan kedua faksi untuk berdamai setelah 10 tahun berselisih.
Kala itu, Hamas akhirnya menyatakan kesiapannya untuk memulihkan hubungan dengan Fatah tanpa prasyarat apapun. Mereka bahkan membubarkan komite administratif yang sebelumnya bertugas untuk mengelola pemerintahan di Jalur Gaza. Hal itu dilakukan agar Otoritas Palestina dapat mengambil alih tugas pemerintahan di daerah yang diblokade tersebut. Namun rekonsiliasi tersebut kembali mengalami kebuntuan. Hingga saat ini Hamas masih mengontrol Jalur Gaza sedangkan Fatah menjalankan pemerintahan di Tepi Barat.