HSN Didorong Jadi Momentum Resolusi Jihad Fii Sabilillah
Red: Fernan Rahadi
Santri saat mengikuti upacara di Alun-alun Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Jumat (21/10/2022). Upacara yang diikuti ratusan santri, pelajar serta masyarakat itu untuk memperingati Hari Jadi Pemkab Jombang ke-112 serta Hari Santri Nasional 2022 yang mengangkat tema Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan. | Foto: ANTARA/Syaiful Arif
REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Pesantren disebut sebagai salah satu mitra terdepan pemerintah untuk menyebarkan luaskan moderasi beragama dan wawasan kebangsaan untuk melawan penyebaran virus terorisme. Untuk itu, kalangan pesantren harus menjadikan momentum Hari Santri Nasional (HSN) pada 22 Oktober 2022, untuk kembali menggelorakan resolusi jihad fii sabilillah melawan kelompok yang ingin merusak persatuan dan kedamaian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Ini momentum besar dari peristiwa sejarah masa lalu yang tidak bisa dipisahkan perjuangan NKRI. Sejatinya waktu itu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kita tahu terjadi agresi militer oleh tentara asing, tentara Belanda. Sampailah pada tanggal 22 Agustus 1945, lahir fatwa tokoh ulama dan Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari untuk resolusi jihad fii sabilillah melawan penjajahan, musuh negara," ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar saat menghadiri seminar nasional kebangsaan kerja sama BNPT dengan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) Kalimantan Barat (Kalbar) di Pontianakdalam rangka peringatan HSN 2022 di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (20/10/2022).
Boy Rafli mengungkapkan, bahwa resolusi jihad fii sabilillah meruakan pembelajaran penting bagi bangsa Indonesia, khususnya para santri dalam membela tanah air bersama seluruh komponen masyarakat waktu itu.
"Kalau dulu musuh kita kelihatan, tapi har ini musuh kita berupa virus intoleransi, radikal teroisme yang mempengaruhi anak bangsa kita untuk memusuhi bangsanya sendiri," kata Boy Rafli.
Bedanya, lanjut Kepala BNPT, ancaman virus terorisme ini harus dijadikan kewaspadaan bersama. Pasalnya, virus tersebut telah berkembang menjadi ideologi terorisme global yang tidak hanya terjadi Indonesia, tapi juga belahan dunia. Ia mengungkapkan, lebih dari 120 negara telah terpapar virus tersebut. Artinya, virus terorisme itu seperti virus Covid-19.
"Kalau Covid-19, hari ini pandemi sudah mulai mereda setelah imunitas bangsa kita semakin bagus. Sudah ada vaksinnya, sehingga kita kebal. Tapi virus intoleransi, radikalisme, teroisme ini sulit untuk diprediksi berapa tahun akan hilang dari muka bumi. Dia akan berus berkembang biak mempengaruhi masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia," katanya.
Boy Rafli mengungkapkan bahwa ideologi terorisme yang dikembangkan adalah sebuah pemahaman, ide, gagasan berbasis kekerasan yang berlandaskan keyakinan tertentu dan memilki tujuan politik. Kemudian dengan fenomena itu, BNPT mencoba menarik menyimpulkan beberapa karakteristik ideologi terorisme tersebut. Pertama anti-konstitusi negara UUD 1945 dan anti-ideologi negara Pancasila.