REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi Asia saat moneter dunia semakin ketat, inflasi yang disebabkan perang di Ukraina terus merangkak naik dan pertumbuhan ekonomi China mengalami perlambatan. Faktor-faktor tersebut dinilai menekan pemulihan pandemi Covid-19 kawasan.
Dalam laporan outlook kawasan Asia-Pasifik yang rilis Jumat (18/10/2022) IMF mengatakan meski inflasi di Asia masih lebih tenang dibandingkan kawasan lainnya tapi sebagian besar bank sentral di kawasan terus menaikan suku bunga agar ekspektasi inflasi menjadi tidak menentu.
"Rebound ekonomi Asia yang kuat pada awal tahun ini kehilangan momentum pada kuartal kedua, lebih lemah dibanding yang diperkirakan sebelumnya," kata direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Krishna Krishna Srinivasan, seperti dikutip dari Aljazirah, Jumat.
"Kebijakan moneter akan perlu terus diperketat untuk mematikan inflasi sesuai target dan ekspektasi inflasi masih dalam kepastian," tambah.
IMF memotong prediksi pertumbuhan ekonomi Asia sampai 4 persen tahun ini dan 4,3 persen tahun depan. Masing-masing diturunkan 0,9 poin dan 0,8 poin dari prediksi bulan April. Perlambatan mengikuti ekspansi 6,5 persen pada tahun 2021.
"Ketika dampak pandemi mulai reda, kawasan menghadapi kesulitan baru dari semakin ketatnya keuangan global dan ekspektasi perlambatan permintaan eksternal," kata laporan IMF.
IMF mengatakan salah satu tantangannya adalah perlambatan ekonomi China yang cepat dan meluas karena peraturan Covid-19 yang ketat dan memperburuk masalah properti.
"Dengan semakin banyak pengembang properti yang gagal membayar utang mereka dalam beberapa tahun terakhir, akses sektori itu ke pasar keuangan semakin menantang," tambah IMF dalam laporannya.
"Risiko real estate ke pasar keuangan naik karena paparan substansial."
IMF meramalkan pertumbuhan China melambat 3,2 persen tahun ini, diturunkan sebanyak 1,2 poin dibanding proyeksi bulan April, setelah sempat naik sebesar 8,1 persen pada 2021. Perekonomian terbesar kedua di dunia itu diprediksi naik 4,4 persen tahun depan dan 4,5 persen tahun 2024.
Sementara China diharapkan melonggarkan peraturan Covid-19 secara bertahap tahun depan. IMF tidak melihat Beijing memiliki solusi cepat pada masalah krisis properti yang mana perlu diatasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Masyarakat akan berharap selteha kongres partai (komunis) akan ada perhatian lebih pada kebijakan untuk merespons ini," kata Srinivasan.
"Namun kami tidak melihat solusi cepat pada (krisis) sektor real estate karena dapat memakan waktu lebih lama," tambahnya.