REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Salah satu dimensi yang dapat diteladani dari sosok KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam buku Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, karya KH Husein Muhammad, adalah kezuhudannya dalam menjalani kehidupan.
Zuhud adalah suatu sikap mental yang mencerminkan pola hidup sederhana, tidak mementingkan kehidupan dunia secara berlebih-lebihan, namun tidak melupakannya sama sekali.
Dalam karyanya ini, penulis pun menceritakan kezuhudan Gus Dur saat berada di rumahnya. Di sini, Buya Husein menggambar sosok Gus Dur seperti kehidupan para sufi besar, yang selalu memilih mengutamakan jiwa, ruh, dan bukan tubuh.
Bagi Gus Dur, kata Buya Husein, tempat di mana-mana sama saja, sebab tubuh sangat tergantung pada jiwa. Tubuh mengikuti jiwa, bukan sebaliknya.
Tanpa jiwa, bentuk adalah benda padat yang tak berguna. Seorang sufi berkata, “Khudz al Lubb in Kunta min Uli al-Albab,” Ambillah saripati jika engkau seorang cendekia. Kadang, "kenikmatan tubuh sering melalaikan Tuhan," kata para sufi.
Buya Husein mengenal Gus Dur sebagai sosok yang sangat sederhana. Bahkan, dia sering melihat Gus Dur di rumahnya hanya mengenakan kaos dan celana sebatas bawah lutut, dari bahan yang tak tampak berkualitas.
Tidak hanya seoal pekaian, penulis juga menceritakan segala kebiasaan Gus Dur di rumahnya, yang penuh dengan kesederhanaan. Buya Husain menceritakan kezuhudan Gus Dur secara detail yang patut diteladani generasi muda sekarang.
Tidak hanya menceritakan kezuhudan Gus Dur di dalam rumah, Buya Husein juga menceritakan kesederhanaannya di luar rumah, yang mana tidak pernah memikirkan soal materi. Bahkan, Gus Dur sering tak punya uang, karena setiap punya uang dia bagikan kepada orang lain atau pihak yang memerlukannya.
Banyak cerita orang dekat Gus Dur yang menyampaikan soal kelakuannya seperti itu, termasuk ketika dia menjadi presiden. Mahfud MD misalnya, pernah bercerita ketika mendampinginya dan menjadi pembantunya sebagai menteri.
Diceritakan bahwa gaji Gus Dur sebagai presiden sering diberikan kepada orang-orang yang memerlukannya atau yang menurutnya membutuhkan meskipun tak diminta, termasuk kepada menterinya.
Gus Dur, kata Pak Mahfud, pernah memberikan sebagian gaji pertamanya kepada salah satu menterinya ketika itu, yaitu Alwi Shihab yang merupakan adik kandung Prof M Quraish Shihab.
Buya Husein mengatakan, Gus Dur memang sering tak punya uang, meski ketika dia menjadi presiden. Gus Dur adalah seorang zahid, seorang darwis.
Menurut Buya Husein, Sang Zahid di manapun juga sering tak punya uang. Sebab, punya uang atau harta benda bisa akan dan sering mengganggu pikiran dan jiwanya, melalaikannya dari tugas mengabdi dan mengingat Tuhan.
Baca juga: Ritual Sholat Memukau Mualaf Iin Anita dan Penantian 7 Tahun Hidayah Akhirnya Terjawab
Gus Dur sendiri pernah suatu saat menyampaikan Surat At-Takatsur, yang artinya: “Kehidupan glamor telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Oh tidak! Kamu pasti akan tahu. Kamu pasti akan melihat dengan mata kepalamu. Kemuliaan, hari itu, kamu pasti akan ditanyai tentang kenikmatan yang melalaikan itu.”
Buya Husein menjelaskan, kesenangan atau kenikmatan yang diperoleh dalam hidup tak membuat sang zahid lupa diri dan tidak pula membuatnya disibukkan atau dikendalikan oleh kenikmatan dan kesenangan duniawi itu seraya melupakan orang lain, apalagi melupakan Tuhan.
Intinya, seperti dikatakan Gus Dur, zuhud adalah sikap hidup bersahaja serta kemampuan diri mengelola hati dan jiwanya untuk tidak terjerumus pada hal-hal yang pragmatis, yang bernilai sesaat, rendah dan mementingkan diri sendiri.