REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan menyatakan peredaran rokok ilegal berjalan lurus dengan kenaikan tarif cukai tembakau. Hal ini menyusul pemerintah akan menaikkan rata-rata tarif cukai tembakau sebesar 10 persen pada tahun depan dan 2024.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Haryanto mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok akan berkorelasi positif terhadap peredaran rokok ilegal di Tanah Air. “Dampak pandemi menyebabkan daya beli masyarakat melemah sementara disparitas harga antara rokok legal dan ilegal semakin jauh,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (8/11/2022).
Menurutnya beban pungutan negara atas rokok legal yang tinggi menyebabkan pelaku peredaran rokok ilegal kian marak. Saat ini, disparitas antara rokok ilegal legal sebesar 68 persen.
“Jika tadinya sebelum PPN naik sekitar 62 persen tetapi begitu PPN naik dari 9,1 persen menjadi 9,9 persen itu menjadi 68 persen,” ucapnya.
Nirwala menyebut rokok ilegal adalah rokok yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari produk dalam negeri maupun impor yang tidak mengikuti aturan yang berlaku di wilayah hukum Indonesia. Adapun ciri-ciri rokok ilegal antara lain, tidak dilekati dengan pita cukai (rokok polos), dilekati dengan pita cukai yang tidak sesuai peruntukannya, dilekati dengan pita cukai palsu, dilekati dengan pita cukai bekas.
Menurutnya penegakan hukum terhadap pelaku penjualan rokok ilegal dengan memberikan sanksi administratif dan pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai. Adapun sanksi bagi pelaku pelanggaran pidana terkait peredaran rokok ilegal yakni pidana penjara maksimal lima tahun dan/atau denda paling banyak sepuluh kali lipat dari nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Maka itu, untuk memberantas peredaran rokok ilegal, Bea Cukai terus meningkatkan pengawasan peredaran rokok ilegal melalui operasi Gempur Rokok Ilegal. Berdasarkan catatan Bea Cukai, Operasi Gempur Rokok Ilegal periode 2018 - 2022 mengalami peningkatan jumlah penindakan, sedangkan jumlah barang hasil penindakan cenderung menurun setiap tahunnya.
“Pada 2020, jumlah penindakan berjumlah 9.018 dengan kerugian negara sebesar Rp 662 miliar. Pada 2021 jumlah penindakan naik menjadi 13.125 dengan kerugian negara sebesar Rp 293 miliar. Sedangkan pada 2022 hingga saat ini total penindakan meningkat menjadi 18.659 dengan total kerugian negara sebesar Rp 407 miliar," ucapnya.
Menurutnya, keberhasilan pemberantasan rokok ilegal memerlukan kerja sama banyak pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. “Diharapkan dengan operasi Gempur Rokok Ilegal dapat meningkatkan kepatuhan pengusaha sehingga dapat menciptakan keadilan dan keseimbangan,” ucapnya.
Dari pelaku usaha, Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Willem Petrus Riwu menambahkan pemberantasan rokok ilegal sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan kewenangan Ditjen Bea Cukai. Menurutnya, struktur peredaran rokok ilegal saat ini sudah sangat kuat.
"Terkadang pabrik hanya melihat saja, dan memberi informasi jika diminta," katanya.
Terkait data peredaran rokok ilegal, Willem menyebut data seperti ini tidak bisa diberikan, kecuali Badan Pusat Statistik (BPS).
"Pengalaman saya malah akhirnya jadi merugikan dan menyulitkan pihak pabrik. Kami melihat itu tupoksi pembina industri, pembina tenaga kerja dan pembina perani. Seharusnya mereka punya data itu," ucapnya.
Menurutnya pemberantasan rokok ilegal harus extraordinary, karena ini merupakan kejahatan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Adapun pemberantasannya cukup sulit dan beberapa penegak hukum dari Bea Cukai justru menjadi korban.
"Usul kami cara memberantas rokok ilegal yang aman jangan menaikkan tarif cukai terlalu tinggi agar perbedaan harga tidak terlalu besar antara rokok legal dan ilegal," ucapnya.
"Bayangkan pabrik rokok legal harus membayar pungutan pajak, cukai dan pajak daerah sekitar 73 sampai 82 persen dari nilai yang dijual. Jadi rokok ilegal menjual dengan harga 80 persen di bawah harga rokok legal sudah bisa profit dan berkembang, dan negara pasti kehilangan penerimaan serta mengancam UU APBN dan berdampak negatif bagi bangsa karena makin banyak yang beroperasi ilegal," ucapnya.