REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Masyarakat Barat pra-Kristen berbeda-beda dalam menetapkan, apakah orientasi seksual non-hetero bisa diterima atau tidak.
Ada bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa masyarakat Yunani yang dianggap sebagai moyang peradaban Barat menerima penyimpangan ini.
Bahkan, istilah lesbian, misalnya, konon di ambil dari nama pulau Lesbos, sebuah pu lau yang pada masa Yunani kuno, masyarakatnya perempuannya mempraktikkan hubungan seksual sejenis.
Namun, ketika Kekristenan mendominasi seluruh aspek kehidupan masyarakat Barat, maka selaras dengan ajaran Kristen, satu-satunya orientasi yang diterima hanyalah heteroseksual.
Ketika terjadi pertentangan antara otoritas Gereja Katolik dan Raja Henry VIII, raja Inggris ini mengintegrasikan larangan homoseksual ke dalam hukum sekuler untuk menandingi kekuasaan Paus. Maka homoseksual pun berubah menjadi pelanggaran hukum dan penyimpangan sosial.
Gelombang revolusi sains mendorong para peneliti untuk mengamati homoseksual dari kacamata ilmu pengetahuan, dalam hal ini psikologi. Penelitan-penelitan itu bermula pada abad ke-19, sebagai upaya untuk mencari penjelasan ilmiah yang lepas dari kontrol agama atas setiap fenomena.
Pada titik inilah unsur moral tidak lagi dikaitkan dengan orientasi seksual. Ia dilihat murni sebagai fenomena psikologis manusia.
Proses di atas dapat dikatakan sebagai representasi dari gelombang besar sekularisasi yang menyapu masyarakat Barat dan dunia setelah era pencerahan. Salah satu karakter dari sekularisasi tersebut adalah deconsecration of values, yakni perelatifan nilai-nilai mengikuti karakter evolusioner manusia (al-Attas, 1993).
Dieliminasinya unsur metafisika, atau lebih jelasnya kehendak Tuhan, dari diskursus moral dan nilai membuat basis moral menjadi relatif.
Namun, sesungguhnya hal ini bukan berarti terjadi subjektivitas moral, sebab dalam diskursus dominan, tetap ada basis yang dianggap objektif dan harus diterima bersama.
Standar itu adalah diri manusia sendiri. Di dalam kasus pelecehan seksual RS oleh oknum medis beberapa waktu lalu, misalnya, mereka yang berdiri di atas posisi moral atau nilai sekuler ini menganggap RS jahat dan amoral karena dia telah menginvasi kedaulatan tubuh para korban.
Persoalan consent yang begitu sentral dalam diskursus kelompok Feminis atau kaum sekuler pada umum nya berakar dari sini (Whisnant, 2017). Dapat dikatakan bahwa dalam pandangan ini, baik dan buruk itu ada untuk melayani manusia, bukan untuk menaati Tuhan. Dari teosentris menuju antroposentris.
Pergeseran nilai dan moralitas dari teosentris menuju antroposentris belum begitu terasa di Tanah Air. Itulah mengapa, di dalam masyarakat yang religius seperti Indonesia, pandangan penerimaan pada orientasi seksual apa pun, meski pun mungkin sedang bertumbuh, masih minoritas.
Pandangan ini pernah juga dominan di Amerika Serikat, tapi dalam jangka waktu hanya beberapa dekade, terjadi perubahan besar. Dalam survei Gollup, pada 1986 pendukung pernikahan homoseks di Amerika Serikat hanya 32 persen, jumlah ini meningkat signifikan menjadi 64 persen pada 2010.
Baca juga: Mualaf David Iwanto, Masuk Islam Berkat Ceramah-Ceramah Zakir Naik tentang Agama
John McGowan (2007) mengaitkan kebangkitan nilai-nilai liberal dengan perubahan besar persepsi masyarakat Amerika terhadap homoseksualitas. Salah satu nilai liberal yang dimaksud adalah pengeliminasian pertimbangan metafisis jika berbicara tentang baik dan buruk.
Semuanya dikembalikan kepada hak-hak individu, selama ia tidak mengganggu orang lain maka ia bebas melakukan apa saja. Tentu ini sangat bertentangan dengan prinsip moral kaum beragama, di mana prinsipnya adalah selama ia tidak menerobos aturan-aturan Tuhan, maka ia bebas melakukan apa saja.
Dengan demikian, yang berkepentingan dengan isu penyimpangan orientasi seksual ini bukan hanya umat Islam. Ini adalah isu lintas iman yang sesungguhnya menarik perhatian dan menjadi concern para pemeluk agama.
Sebagaimana tercantum di judul tulisan ini, isu penyimpangan orientasi seksual sudah selayaknya menjadi kalimah sawa', yang perlu ada kesesuaian visi dan kesepaduan aksi dari orang-orang beragama.