REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah pemerintah yang akan menyetop berbagai komoditas mentah dinilai sebagai satu-satunya langkah untuk bisa melakukan hilirisasi produk menjadi barang setengah jadi. Tanpa langkah radikal, keinginan pemerintah untuk memperoleh nilai tambah dari ekspor barang mentahnya hanya angan-angan.
"KIta tidak akan pernah bisa mendorong hilirisasi kalau tidak dilarang ekspor mentahnya," kata Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies, Yusuf Wibisono kepada Republika.co.id, Ahad (13/11/2022).
Terbaru, Indonesia tengah menghadapi sengketa di WTO pasca melarang ekspor bijih nikel sejak 2020 lalu dan berpotensi kalah. Langkah itu menuai kecaman dari sejumlah negara atas kebijakan pemerintah Indonesia.
Yusuf menuturkan, larangan ekspor menjadi strategi industrialisasi yang seharusnya dihormati oleh negara lain. Meskipun, dalam konteks perdagangan bebas bisa saja digugat dan Indonesia menjadi pihak yang melanggar ketentuan internasional.
"Jika isu ini dibawa secara damai ke forum internasional memang agak sulit. Jadi harus kuat-kuatan. Kita harus berdiplomasi dengan lebih cantik," ujarnya menambahkan.
Hanya saja, Yusuf menekankan, langkah penyetopan ekspor belum tentu menguntungkan masyarakat dalam negeri. Ia mencontohkan soal nikel yang berhasil diolah menjadi barang setengah jadi. Pasalnya, hasil hilirisasi itu pun dinikmati oleh negara lain khususnya China yang juga berinvestasi dalam proses hilirisasi tambang.
Investor asing yang masuk ke Indonesia juga telah dibanjiri fasilitas insentif dari pemerintah. Sementara itu, keterlibatan perusahaan domestik disebut Yusuf masih cukup rendah. Padahal, industri dalam negeri pun diharap ikut menikmati hasil olahan dari sumber daya alam yang dimiliki sendiri.
"Perlu kita evaluasi lagi, apakah ini sudah sepadan dengan kita dicaci-maki dunia internasional?" ujar dia.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, menilai tak menjadi masalah jika Indonesia menghadapi kecaman dunia internasional. "Tidak ada masalah, itu hak segala bangsa dan negara," ujarnya. Djatmiko menambahkan, proses sengketa nikel di WTO pun masih berjalan dan belum terdapat keputusan final.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor produk turunan dari bijih nikel mengalami peningkatan pasca pemerintah melarang ekspor bijih mentah nikel. Kebijakan larangan itu menunjukkan adanya dampak positif yang diterima Indonesia.
Sejak tahun 2020 BPS mencatat ekspor bijih nikel tercatat nihil karena telah dilarang pemerintah. Namun, terdapat dua produk turunan bijih nikel yang mengalami pertumbuhan signifikan nilai ekspor, yakni nikel dan barang daripadanya serta fetronikel.
Sepanjang 2020 ekspor nikel dan barang daripadanya senilai 4,73 miliar dolar AS, naik dari tahun 2019 yang hanya 2,59 miliar dolar AS. Ekspor kembali meningkat pada 2021 menjadi 7,08 miliar dolar AS dan periode Januari-Agustus 2022 telah mencapai 8,7 miliar dolar AS.
Begitu pula untuk komoditas fetronikel. Pada 2020 lalu, ekspornya tercatat 808,4 juta dolar AS, turun dari 2019 yang sebesar 813,2 juta dolar AS. Namun memasuki 2021, nilai ekspor naik signifikan menjadi 1,28 miliar dolar AS. Selama periode Januari-Agustus 2020, ekspor fetronikel telah mencatatkan nilai hingga 3,59 miliar dolar AS.
Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, usai Pertemuan tingkat menteri G20 bidang perdagangan, investasi, dan industri (TIIMM G20) akhir September lalu menyampaikan, di bidang investasi salah satu yang telah menjadi kesepakatan bersama soal adanya hilirisasi industri.
Ia menuturkan, terdapat adanya perdebatan panjang antara negara G20 soal pentingnya hilirisasi namun dapat diselesaikan dan dicapai kesepakatan. "Jadi, kalau besok ada yang membawa ke WTO untuk masalah hilirisasi, ini bisa menjadi instrumen untuk kita merasionalisasikannya kepada mereka," kata Bahlil.