REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA – Sebuah mobil Suzuki Swift tertabrak kereta api saat melintas di perlintasan sebidang Jalan Leuwidahu, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, Ahad (13/11/2022).
Terdapat empat orang yang menjadi korban dari kecelakaan itu, tiga orang meninggal dunia dan satu orang luka berat.
Berdasarkan pantauan Republika.co.id di lokasi kejadian, perlintasan kereta api sebidang di wilayah itu tidak memiliki palang pintu otomatis.
Hanya terdapat satu palang pintu manual di satu sisi perlintasan tersebut. Sementara di sisi lainnya tak terpasang palang pintu.
Perlintasan tanpa palang pintu tersebut bukanlah satu-satunya di Kota Tasikmalaya. Data Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Tasikmalaya menunjukkan, dari total 23 perlintasan kereta api di daerah itu, terdapat sembilan perlintasan yang tidak memiliki palang pintu otomatis.
Kepala Bidang Lalu Lintas Dishub Kota Tasikmalaya, Gumilar, mengatakan pihaknya sudah berupaya untuk mengajukan sejumlah perlintasan tanpa palang pintu itu untuk dijadikan perlintasan resmi.
Dia mencontohkan, perlintasan kereta api yang menjadi lokasi kecelakaan pada Ahad pagi, sudah pernah diajukan untuk dilegalisasi. "Namun, tidak ada titik temu dengan PT KAI. Akhirnya jadi saling lempar," kata dia.
Lantaran tak ada titik temu, Pemerintah Kota (Pemkot) Tasikmalaya akhirnya membuat palang pintu manual dan membangun pos penjagaaan di wilayah itu beberapa tahun lalu. Pintu itu pun dijaga secara swadaya oleh warga sekitar.
Menurut dia, upaya itu merupakan bagian untuk menjaga keselamatan pengguna jalan. Mengingat, Jalan Leuwidahu merupakan jalan milik Pemkot Tasikmalaya yang cukup banyak dilalui kendaraan.
"Kami minta itu dilegalisasi atau dikasih palang pintu (otomatis). Namun kan syaratnya macam-macam," ujar Gumilar.
Dia menjelaskan, syarat pertama yang harus dipenuhi adalah menyediakan petugas dari pemerintah setempat. Kedua, peralatan harus ditanggung pemerintah setempat. Ketiga, Pemkot Tasikmalaya harus menyewa tanah untuk palang pintu itu.
"Kan lucu (itu harus menyewa). Makanya, tidak ada titik temu. Di sana akhirnya dijaga warga. Kalau sudah kejadian, saling menyalahkan. Namun sampai kapan seperti ini?" kata dia.
Menurut Gumilar, untuk melegalisasi seluruh perlintasan yang belum memiliki palang, harus ada koordinasi pemerintah pusat, provinsi, dengan kabupaten/kota. Artinya, masing-masing pihak harus menyediakan anggaran secara kontinu untuk masalah itu.
"Jadi masing-masing menganggarkan untuk perlintasan. Kalau ada anggaran, tidak akan sulit menjadikan itu resmi," kata dia.