Selasa 15 Nov 2022 17:55 WIB

Ratusan Mahasiswa IPB Terjerat Pinjol, Pengamat: Antara Kurang Literasi atau Penipuan

Pengamat keuangan meminta mahasiswa berhati-hati terhadap investasi spekulatif

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Gedung Rektorat IPB University. Pengamat Keuangan Piter Abdullah menilai ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terjerat pinjaman dalam jaringan (pinjaman online/pinjol) untuk penjualan yang ternyata bodong karena tamak yang tidak memiliki kemampuan keuangan, dan tidak memiliki literasi pengetahuan mengenai masalah ini. Namun, ia mempertanyakan apakah kasus ini penipuan sehingga perlu diusut tuntas aparat hukum
Foto: Dok IPB University
Gedung Rektorat IPB University. Pengamat Keuangan Piter Abdullah menilai ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terjerat pinjaman dalam jaringan (pinjaman online/pinjol) untuk penjualan yang ternyata bodong karena tamak yang tidak memiliki kemampuan keuangan, dan tidak memiliki literasi pengetahuan mengenai masalah ini. Namun, ia mempertanyakan apakah kasus ini penipuan sehingga perlu diusut tuntas aparat hukum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Keuangan Piter Abdullah menilai ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terjerat pinjaman dalam jaringan (pinjaman online/pinjol) untuk penjualan yang ternyata bodong karena tamak yang tidak memiliki kemampuan keuangan, dan tidak memiliki literasi pengetahuan mengenai masalah ini. Namun, ia mempertanyakan apakah kasus ini penipuan sehingga perlu diusut tuntas aparat hukum.

"Itu perilaku tamak, rakus yang tidak mau bekerja keras karena membuat pelaku (mahasiswa) spekulatif, apalagi kalau tidak didukung dengan kemampuan keuangan. Persoalan semakin ditambah karena mereka tidak memiliki literasi pengetahuan yang cukup," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (15/11/2022).

Baca Juga

Akhirnya, dia melanjutkan, mahasiswa ini berspekulasi dan meminjam uang orang yaitu di pinjaman dalam jaringan. Padahal, ia mengingatkan bunga pinjaman yang sangat tinggi baik pinjol ilegal maupun legal. Pria yang juga Direktur Eksekutif Segara Institute ini menambahkan, semua pinjaman memiliki bunga yang besar. 

"Jadi, saya sangat menyayangkan terjadi di salah satu perguruan tinggi yang dikenal sangat bagus. Ini ada pergeseran nilai atau apa?" katanya.

Lebih lanjut ia meminta, kasus ini harus ditegaskan dulu, harus jelas apakah oknum mahasiswa tersebut kurang literasi atau bentuk penipuan. Sebab, ia menduga tidak menutup kemungkinan uang yang dipinjam dari pinjol ilegal. 

Menurutnya, pinjol ilegal bisa disebut sebagai penipuan dan jika benar maka ini adalah tindakan pidana. Jadi, ia meminta jangan disalahkan korbannya karena yang salah adalah yang menipu. Sebab, mereka memanfaatkan kondisi masyarakat yang kurang mendapatkan literasi. 

Ia menganalisis kalau mahasiswa itu meminjam uang di pinjol ilegal untuk investasi tetapi ternyata tidak mendapatkan hasilnya maka termasuk kategori penipuan.  "Jadi, polisi harus mengusut polanya seperti apa hubungan yang memberikan pinjaman dengan penjualan online ini. Makanya saya kira diharapkan ada perlindungan polisi karena ini satu kesatuan apakah termasuk kategori penipuan," ujarnya.

Ia meminta tuntaskan dulu kasusnya, baru kewajiban mahasiswa untuk membayar utang bisa ditentukan seperti apa. Supaya kasus serupa tak terulang, Piter meminta ada beberapa hal yang dilakukan. 

Pertama, para mahasiswa supaya tak tamak dan mengukur diri. Ia meminta mahasiswa mengukur diri berapa uang kirimannya dan sesuaikan dengan uang yang diterima. Kalau mendapatkan kiriman uang Rp 1 juta maka gunakan dan jangan lebih besar pasak daripada tiang. 

Menurutnya kata-kata bijak ini masih relevan. Artinya kalau tidak punya uang jangan melakukan apa-apa. Kalaupun menginginkan sesuatu, dia melanjutkan, maka mahasiswa ini harus menyisihkan uang menabung dari Rp 1 juta itu. Kemudian, kalau memiliki keinginan di luar uang kiriman berarti harus ada upaya untuk mendapatkan pendapatan yang lebih. 

Tetapi, ia mengingatkan jangan berkeinginan mendapatkannya secara mudah, banyak jalan untuk mendapatkan uang tambahan misalnya bekerja misalnya membantu penelitian dosen, surveyor, mendapat beasiswa. Jadi, pekerjaan sampingan ini mendukung pekerjaan utama. "Jangan tergoda dengan passive income karena itu bukan untuk mereka," ujarnya.

Ia menjelaskan, passive income hanya bisa didapatkan untuk mereka yang memiliki kondisi memungkinkan misalnya bermain saham, bukan di level mahasiswa yang mengandalkan uang kiriman yang jumlahnya mepet. Lebih lanjut ia mengingatkan tugas utama mahasiswa adalah belajar, apalagi kalau merantau dan mendapatkan uang dari orang tua. 

Tujuan orang tua mengirim uang supaya anaknya belajar, bukan untuk hal spekulatif seperti itu. Kedua, ia meminta para mahasiswa jangan pernah melakukan spekulasi menggunakan uang pinjaman. Mahasiswa juga diimbau jangan mudah tergoda dengan iming-iming sesuatu yang mudah. Kalaupun ingin berspekulasi maka gunakan uang yang aman dan hasil kerja kerja keras. "Jangan merasa pintar memutar uang," katanya.

Sebelumnya, sejumlah mahasiswa yang terjerat pinjaman online hingga didatangi penagih utang ke rumahnya, karena penagihan utangnya berkisar Rp 3 juta hingga Rp 13 juta untuk penjualan online yang ternyata tidak menguntungkan. Para mahasiswa diduga terpengaruh oleh kakak tingkatnya untuk masuk ke grup WhatsApp usaha penjualan online. 

Mereka diminta investasi ke usaha tersebut dengan keuntungan 10 persen per bulan dan meminjam modal dari pinjaman online. Namun dalam perjalanannya, keuntungan tidak sesuai dengan cicilan yang harus dibayarkan kepada pinjaman online hingga para mahasiswa mulai resah saat ditagih debt collector dan sebagiannya kini berinisiatif melapor ke Polresta Bogor Kota.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement