Banyak yang Harus Dirapihkan dari Bisnis Pertambangan MBLB
Rep: Bowo Pribadi/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri (tengah), memimpin pemukulan lesung bersama- sama untuk menandi peluncuran 10 Desa Percontohan Antikorupsi, yang dilaksanakan di lapangan Desa Banyubiru, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (29/11). | Foto: Istimewa
REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG — Besarnya perputaran uang pada bisnis pertambangan Mineral Bukan Logam dan batuan (MBLB), menjadikan sektor ini jamak dilirik banyak dipihak.
Untuk itu dibutuhkan tata kelola usaha pertambangan yang mengakomodir seluruh kepentingan. Mulai dari masyarakat, pembangunan, pengusaha dan pemerintah daerah.
“Sehingga dalam kegiatannya, bisnis ini tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari,” ungkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, Selasa (29/11).
Sektor pertambangan MBLB, jelasnya, dalam beberapa kasus acap kali menimbulkan banyak persoalan. Faktor politik --yang memungkinkan pemangku kepentingan terus berganti setiap periode-- membuat kebijakan yang terus berubah.
Semula perizinannya berada di kabupaten/kota, kemudian beralih ke provinsi, lalu ditarik ke pusat, dan kini dikembalikan ke provinsi lagi.
Dari sisi produk hukum tentu sudah melahirkan berbagai perizinan pertambangan, baik yang masih berlaku, sudah mati atau harus diperpanjang.
Maka, banyak hal yang perlu ‘dirapihkan’, misalnya terkait soal pungutan. “Bicara pungutan tentu dalam aspek hukum, pemungut atau pungutan dari negara kepada rakyat tentu harus ada legalitas,” jelasnya.
Menurut Ghufron, ada tiga aspek legalitas yang perlu diperhatikan. Pertama, harus ada dasar hukum atau legalitas formil bagi badan yang mendapatkan mandat untuk melaksanakan pungutan.
Kedua, aspek besaran nilai pungutan yang disebutnya menjadi penting dalam upaya meminimalisir anggapan ketidakadilan antar pihak.
Sedangkan aspek ketiga, untuk apa pungutan itu dilakukan. Sebab selama ini asumsi pemerintah dan daerah --dalam hal penarikan pungutan-- seakan- akan hanya untuk mendapatkan kas daerah.
Padahal dalam perpektif perlindungan, pungutan juga harus digunakan untuk kepentingan lingkungan.
Sehingga yang sering terjadi, prioritas peruntukan pungutan tersebut tidak untuk melakukan pemulihan lingkungan, merawat dan melestarikan. “Karena tidak masuk dalam penganggaran,” tambahnya.
Di sisi lain, rantai bisnis pertambangan –yang dimulai dari proses penambangan, penampungan (stockpile), distributor dan user-- harus memiliki legalitas.
Hanya saja, hal itu belum berjalan karena dalam beberapa kasus yang ditemukan, legalitas dari rantai bisnis tersebut masih setengah- setengah.
Belajar dari pengalaman kasus, kadang ada yang legal di titik penambangan tapi di titik stockpile dicampur dari sumber tidak legal.
“Maka, perlu ditata di mana legalitas penampungan harus ada, legalitas stockpile harus ada dan kemudian rantai transportasi lebih lanjut juga perlu ditata,” tambahnya.
Dengan tata kelola yang baik, masih kata Gufron, maka akan memberikan kepastian hukum bagi pengusaha dan Pemerintah daerah dalam melakukan kontrol terhadap aspek lingkungan.
Di sisi lain, Pemerintah daerah juga akan mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih akuntabel.
Jika tidak dilakukan penataan, dari sisi lingkungan tentu akan rusak dan pemerintah daerah tidak mampu mengontrol karena banyak pertambangan ilegal yang beroperasi.
Selain itu juga akan menilbulkan masalah moral hazard seperti para penambang ilegal yang akan memberikan suap kepada aparatur negara agar bisnisnya tetap terus berjalan.
Dalam konteks ini, KPK fokus kepada bagaimana agar potensi daerah yang berupa mineral bukan logam dan batuan memberikan manfaat dan tidak menimbulkan musibah atau bencana.
“Kami berharap penataan pertambangan ini kemudian mengedepankan dan menghasilkan dua hal yaitu PAD akuntabel dan lingkungannya dilindungi,” tandasnya.