Batik
Ruhut Sitompul sudah menjadi bagian dari industri hoaks. Omongan Anies Baswedan soal batik ia sebarkan secara tidak utuh, sehingga mengesankan bahwa memakai batik itu sebuah pelanggaran. Tak jelas pelanggaran apa, karena omongan selanjutnya tak ia sertakan. Omongan Anies mengenai kemeja batik terkait dengan pakem. Bahwa pakem batik di Jawa, pada mulanya dipakai utuh sebagai kain, baik oleh perempuan atau laki-laki. Jika dipakai perempuan, atasannya kebaya. Sedangkan jika laki-laki yang memakainya, atasannya adalah beskap.
Inilah yang kemudian dikritik oleh Douwes Dekker. Ia kurang cocok denan penampilan yang kalem aktivis Boedi Oetomo yang khas bangsawan Jawa itu: Memakai kain dan beskasp, lengkap dengan blangkon di kepala. Douwes Dekker menganjurkan agar anggota Boedi Oetomo tidak memakai kain saat mengadakan pertemuan. Sebagai anak bangsawan, mereka selalu mengenakan kain dan blangkon dengan mondolan di bagian belakang ketika belajar di STOVIA dan di dalam pertemuan-pertemuan Boedi Oetomo.
Mengenakan kain dan blangkon merupakan cara berpenampilan yang baik bagi bangsawan muda Jawa. Penampilan lahiriah ini penting selain juga harus menjaga ucapan. Sastrawan dan budayawan Yogyakarta, Iman Budhi Santosa, mengutip Serat Sasanasunu yang ditulis pujangga Surakarta, Yasadipura II, pada 1820:
“Dalam Sasanasunu pupuh 3 bait 16, terdapat ajaran mengenai berbusana sebagai berikut: ‘Rehning anom sawatawis/bareo bareo aja/iku bangsat panganggone/lan den nganggo masa kala/lulungan pasamuwan/jingkengan sawetareku/pepenyon amomondholan.’ Artinya: ‘Karena masih muda, baiklah rapi tetapi secukupnya saja/jangan boros dalam hal pakaian/karena seperti itu cara berpakaiannya penjahat/berpakaian rapi perlu melihat situasi/seperti sewaktu bepergian atau pesta/ikat kepala diatur semestinya/dengan mondolan dan bentuk penyunya’.”
Tetapi, menurut Douwes Dekker penampilan lahiriah pemuda bangsawan Jawa itu tidak bisa mewakili karaker pemuda yang diperlukan saat itu. Maka, kepada para siswa STOVIA anggota Boedi Oetomo itu, pada 1912 Douwes Dekker menyarankan, ”Hilangkan dan buanglah itu semua.”
Roeslan Abdoelgani pernah menanyakan alasan Douwes Dekker menyarankan hal itu. “Och, Roeslan, onze jongens moeten brutal zijn even brutal als de Nederlanders,” jawab Dekker, seperti yang diceritakan Roeslan Abdoelgani saat menyampaikan pidato “Pembinaan Kesatuan Bangsa” pada pembentukan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) Cabang Bandung, 15 Juli 1963. Artinya: “Oh, Roeslan, pemuda kita harus kurang ajar seperti kurang ajarnya pemuda Belanda.”
Kain dan mondolan blangkon itu pernah menjadi bahan poyokan orang pesisir utara yang masuk Yogyakarta di zaman revolusi kemerdekaan. Melihat mondolan di blangkon --seperti diceritakan Sukarno dalam suratnya kepada Douwes Dekker— orang pesisir utara itu menceletuk, “Apa itu, zaman perjuangan, granatnya tidak dilempar, tetapi disimpan di belakang kepala.”
Pada waktunya, kain batik memang digantikan oleh celana panjang. Lalu batik mengalami pengembangan dalam penggunaannya yang menyalahi paken: Baju batik tercipta. Pada 1943, Boelo Johannes Bijleveld, mengutip pantun yang menyinggung baju batik, dalam bukunya Herhalingsfiguren in het Maleisch, Javaansch en Soendaasch:
Kain batik, badjoe batik
Batik datang dari Djawa
Adik tjantik, abang tjantik
Bagai pinang belah dua
Di dekade 1930-an belum terdeteksi adanya baju batik. Pada 1946, Batik Keris berdiri dan pada 1947 berdiri pula Batik Bodronoyo yang kemudian berubah menjadi Batik Semar. Baju batik diproduksi juga oleh dua perusahaan batik ini. Pada 1954, ada berita foto di De Vrije Pers edisi 21 April 1954, yang memperlihatkan seorang warga negara Indonesia yang berkunjung ke New Hampshire, Inggris, menghadiahkan baju batik kepada seorang anggota parlemen.
Setelah kemerdekaan, masyarakat mengenakan baju batik untuk acara-acara resepsi. Pejabat pemerintahan mrmpromosikan baju batik kepada tamu-tamu negara, seperti yang dilakukan oleh Roeslan Abdoelgani sewaktu menjadi sekretaris jenderal Kementerian Luar Negeri. Ia memberi cendera mata baju batik kepada rombongan band dari Filipina yang datang di Indonesia untuk ikut memeriahkan peringatan hari kemerdekaan RI pada 30 Agustus 1955. Rombongan band itu berada di Indonesia selama 15 hari.
Pada awal 1970-an, Gubernur Jakarta Ali Sadikin rajin mengenakan baju batik di berbagai acara. “Dalam pertemuan umum dengan mahasiswa yang berbaju putih dan berdasi baru-baru ini, ia muncul dengan kemeja batik, yang ia nyatakan dalam sambutannya sebagai busana pilihan pada resepsi resmi dan semacamnya,” tulis Ton van der Hammen, dalam tulisannya berjudul “In Batik-hemd naar een Receptie” di koran Trouw edisi 29 November 1972. Pada era 1970-an - 1980-an, anak-anak sekolah di Jawa Tengah masih akrab mengatakan hem untuk menyebut kemeja.
Kini, batik memang telah menjadi identitas nasional. Orang-orang dari Sabang sampai Merauke telah mengenakannya. “Persatuan Indonesia yang tumbuh semakin besar, memperlihatkan dirinya pada sofa dan kemeja batik, dari Sabang sampai Merauke,” tulis seorang Belanda, Beb Vuyk, dalam tulisannya berjudul “In Vogelvlucht naar Boeroe” di koran Trouw edisi 16 September 1982. Tapi, menurut dia, saat itu baju batik belum digunakan secara masif di Maluku.
Priyantono Oemar