REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Hasan Yazid Al-Palimbangy
Sholawat mempunyai filosofi teologis atau tauhid yang mengandung unsur pengakuan yang esensial dan mendudukkan relasi antara Allah dan Nabi secara proporsional. Mengakui Allah sebagai Tuhan sekaligus mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai hambaNya.
Dalam shigat (redaksi/bacaan) sholawat Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad, menunjukan kedudukan Allah sebagai Dzat yang Maha Pemberi dan Nabi Muhammad sebagai penerima atau yang diberi. Betapapun tinggi derajatnya dan berstatus makhluk terbaik, Nabi Muhammad tetaplah hamba Allah bukan Tuhan
"Jadi, membaca sholawat itu, di samping menunjukkan mahabbah (cinta) kita kepada Rasulullah, dengan menyatakan beliau sebagai makhluk terbaik yang paling layak mendapat azka sholawat dari Allah, juga menyatakan Allah sebagai (Tuhan) yang memberi"
Penjelasan ini dilandaskan pada pandangan Sayyid Muhammad Murtadha Az-Zabidi, pengarang kitab kitab Ithafus Sadatil Muttaqin, syarah atas kitab Ihya Ulumudin, buah karya Imam Al-Ghazali.
و أن النبي و إن جلّ قدره فهو محتاج إلى رحمة الله عزّ وجل
Artinya: “Betapapun tingginya kedudukan Nabi Muhammad saw, ia tetap membutuhkan kasih sayang dan kemurahan Allah SWT
l
Inilah yang dimaksudkan sholawat sebagai penjaga akidah, umat muslim tetap mengagungkan Rasulullah sebagai status hamba Allah, dan tidak sampai menuhankannya.
Penegasan senada juga tertuang dalam salah satu bait Qashidah Burdah karya Imam Al-Bushiri.
دَعْ مَا ادَّعَتهُ النَّصَارَى في نَبِيِّهِمُ * وَاحْكُمْ بِمَا شِئْتَ مَدْحًا فِيْهِ وَاحْتَكِمِ
“Tinggalkanlah olehmu apa-apa yang disangkakan oleh orang Nasrani. Tak mengapa kamu memuji Nabi secara berlebihan, tapi tinggalkanlah tradisi yang dilakukan orang Nasrani.”
Sedalam-dalam cintanya kita menyanjung Nabi Muhammad, sebagai muslim kita tidak akan terjebak sampai mendudukkan Rasulullah setingkat dan sederajat dengan Allah Swt.
Wallahu a'lam bisshowaab