Kamis 05 Jan 2023 03:08 WIB

Media Sosial Bisa Pengaruhi Generasi Muda Terjebak Hustle Culture, Apa Itu?

'Hustle Culture' diketahui bisa berdampak pada kesehatan mental generasi muda.

'Hustle Culture' diketahui bisa berdampak pada kesehatan mental generasi muda.
Foto: www.freepik.com.
'Hustle Culture' diketahui bisa berdampak pada kesehatan mental generasi muda.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Indrayanti mengatakan, media sosial dapat mempengaruhi generasi muda terjebak hustle culture yang berdampak pada kesehatan mental. "Penyebab menjadi hustle culture ini karena melihat orang lain. Apalagi dengan medsos, orang posting prestasi di medsos jadi mudah membandingkan diri dengan orang lain. Dampaknya ke isu kesehatan mental," kata Indrayanti melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Rabu (4/1/2023).

Menurut dia, hustle culture telah menjadi fenomena gaya hidup, yakni pemikiran hidup untuk bekerja dan mendedikasikan kehidupan untuk bekerja sementara hal lain dikesampingkan. "Hustle culture itu mindset-nya kita hidup untuk kerja yang lain nanti dulu. Bukan kerja untuk hidup," ujar dosen Fakultas Psikologi UGM ini.

Baca Juga

Indrayanti menyebutkan bahwa seringkali orang tidak menyadari jika telah terseret dalam arus "hustle culture" karena telah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari. Menurut dia, ada ciri-ciri yang bisa dikenali dari hustle culture, salah satunya adalah terus memikirkan pekerjaan di setiap waktu dan tempat sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.

"Dalam pikiran itu harus keras bekerja, bukan bekerja keras dengan startegi. Ambisius untuk terus aktif sehingga tidak peka dengan sinyal-sinyal dalam tubuhnya hingga saat banyak stresor masuk tubuhnya ambruk, stres, 'burnout', terjadi kelelahan psikologis," tuturnya.

Menurut dia, ada tuntutan pekerjaan yang harus direspons secara profesional dengan kualitas tinggi agar tidak dinilai buruk yang pada akhirnya tidak memiliki waktu untuk diri sendiri atau keluarga. Kondisi tersebut, kata dia, pada akhirnya berkembang lagi menjadi toxic productivity yang bisa terjadi pada siapapun tidak hanya di dunia kerja, tetapi juga di dunia pendidikan.

"Melihat kondisi kerja yang situasinya pada 'workaholic' akhirnya kepikiran, ada racun di pikiran. Jangan-jangan yang disebut produktif yang harus kerja keras, lembur, dan akan merasa bersalah jika gak kaya gitu," paparnya.

Indrayanti mengatakan, situasi ini yang terjadi pada tiap-tiap individu kemudian menjadi sebuah fenomena yang dilihat di lingkungan sehingga menjadi sebuah gaya hidup atau budaya.

"Pada akhirnya generasi muda menjadi berpikir tentang produktivitas seperti yang kebanyakan terlihat yakni yang kerja keras dan terus melakukannya supaya tidak merasa tertinggal," kata dia.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement