REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sejarah Islam tidak hanya memuat sejarah perjalan tokoh-tokoh Islam, tetapi juga merekam petuah-petuah bijak mereka. Ini seperti yang dirangkum Shalih Ahmad asy-Syami dalam kitabnya yang telah dialihbahasakan dalam judul “Tenangkan Pikiran dan Hatimu Setiap Saat dengan Petuah-petuah Bijak.“
Jilid pertama buku itu merangkum nasihat dari tiga ulama besar, yaitu Syekh Hasan Bashri, Imam al-Ghazali, dan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Pertama, Syekh Hasan al-Bashri, ulama asal Basrah, Irak, itu disuguhkan. Misalnya, menekankan pentingnya meniru akhlak Nabi Muhammad SAW. Hasan Bashri berkata, “Seorang hamba (Allah) itu tetap baik selama memiliki penasihat dari dirinya sendiri dan muhasabah menjadi perhatiannya.”
Maknanya, seorang Muslim diajak untuk tidak bosan-bosannya mengintrospeksi diri. Perenungan akan perkataan dan perbuatan diri sendiri akan melatih pribadi lebih bijaksana.
Sebab, ia akan menimbang-nimbang apa yang diucapkan atau diperbuatnya, yakni dampaknya bagi diri sendiri dan orang-orang sekitar.
Namun, lanjut alim tersebut, seseorang jangan pula terlalu asyik dalam pikirannya sendiri. Kebaikan hanyalah menjadi angan-angan belaka apabila tidak dilaksanakan.
Berkata sang ulama, “Iman bukanlah menghias diri dan bukan pula berangan-angan, tetapi ia adalah apa yang diyakini hati dan dibuktikan dengan amal.”
Dalam beramal pun, seorang Muslim harus pandai menjaga keikhlasan. Begitu pentingnya ketulusan sampai-sampai Hasan Bashri meletakkannya dalam definisi tentang agama ini.
Ia berujar,” Islam, apakah Islam itu? Yaitu jika sudah tak ada bedanya ketika dalam kesendirian maupun di tengah keramaian. Jika hatimu telah pasrah kepada Allah, serta jika setiap Muslim dan setiap orang yang memiliki perjanjian denganmu aman darimu.”
Kedua, tokoh berikutnya ialah Imam al-Ghazali. Sejarah mencatat sosok ini sebagai seorang ilmuwan yang genius. Satu fase penting dalam hidupnya terjadi ketika dirinya meletakkan jabatan rektor Uni versitas Nizhamiyah. Sejak saat itu, sang Hujjatul Islam (Pembela Islam) menekuni jalan tasawuf. Al-Ghazali merangkai kata-kata mutiara mengenai salah satu sifat sufi sejati, yaitu zuhud terhadap dunia.
Zuhud berarti meninggalkan hal-hal yang mubah (diperbolehkan) yang dipandang termasuk bagian dari nafsu. Meninggalkan hal-hal yang dilarang tidaklah disebut zuhud, jelasnya.
Zuhud tiada lain adalah jika engkau meninggalkan dunia karena engkau mengetahui kerendahan dunia yang tidak sebanding dengan kemuliaan akhirat, sambungnya.
Tampak dari definisi itu, al-Ghazali tidak menyamakan seorang sufi seperti biarawan. Ahli tasawuf dapat berada di tengah masyarakat. Bahkan, seorang salik menjadi pembimbing mereka dalam urusan akhirat.
Al-Ghazali menyebut ada tiga kriteria manusia dalam konteks sosial. Pertama, manusia yang seperti makanan, selalu dibutuhkan setiap saat.
Baca juga: Al-Fatihah Giring Sang Ateis Stijn Ledegen Jadi Mualaf: Islam Agama Paling Murni
Kedua, manusia yang seperti obat, kadang di butuhkan dan kadang tidak. Ketiga, manusia yang seperti penyakit, sama sekali tidak dibutuhkan, tetapi terkadang digunakan untuk menguji manusia lain, katanya menjelaskan. Orang yang tergolong kelompok terakhir, menurutnya, lebih baik dihindari.
Ketiga, berikutnya ialah Abdul Qadir Jailani. Ulama yang berjuluk Sulthan al-Awliya, 'pemimpin para wali Allah', itu mengingatkan murid-muridnya untuk menyadari peran sosial mereka.
Peranan itu tidak hanya berkaitan dengan perkaraper kara dunia, tetapi juga akhirat. Orang Mukmin memiliki niat yang baik dalam seluruh tingkah lakunya, tegas sang syekh, dia tidak beramal di dunia untuk dunia.
Ia membangun masjid, jembatan, sekolah, dan tempat pendidikan lainnya. Ia meretas jalan kaum Muslimin. Ia melakukan semua itu supaya terbangun penggantinya di akhirat.