'Negara tak Boleh Beri Celah untuk Tindak Inkonstitusional'

Red: Fernan Rahadi

Hukum dan Keadilan (ilustrasi)
Hukum dan Keadilan (ilustrasi) | Foto: RESPONSIBLECHOICE

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kader Intelektual Muhammadiyah, Muhammad Abdullah Darraz menegaskan, sejatinya negara tidak membuka ruang bagi siapapun yang berusaha melakukan tindakan inkonstitusional. Terlebih menciptakan kericuhan dengan mendompleng isu politik yang mengatasnamakan agama atau ajaran tertentu.

"Pada prinsipnya, sistem negara kita kan sebetulnya tidak memberikan ruang sekecil apa pun bagi siapa pun yang melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional. Khususnya bagi kelompok yang mendompleng isu-isu tertentu, kemudian menciptakan kericuhan dan social disorder. Itu kalau bahasa konstitusi, makar," ujar Muhammad Abdullah Darraz di Jakarta, Jumat (13/1/2022).

Dirinya melanjutkan, kekacauan sosial serta tindakan yang termasuk makar dalam upaya menggulingkan pemerintahan yang sah apalagi didalam negara yang tidak sedang berkonflik, dalam kacamata fiqih islam disebut sebagai Al-Baghiu atau Bughat.

Bughat memulai sejarahnya ketika masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, dengan kemunculan kelompok yang enggan mengakui pemerintahan Abu Bakar dan menciptakan social disorder. Maka kelompok tersebut dianggap pemberontak hingga wajib diperangi.

"Jadi menciptakan situasi yang tidak tertib, tidak stabil. Nah itu saya kira bisa dikategorikan bagian dari bughat. Namun para ulama kan  berbeda pendapat terkait hukumnya (bughat)," kata mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute ini.

Setidaknya ada tiga kategori bughat berdasarkan pendapat para ulama. Pertama, Bughat yang dikategorikan sebagai orang yang melakukan pidana atau jarimah. Hukumannya harus ditentukan melalui pengadilan, ada hakim yang memutuskan. Tidak boleh penguasa, Imam, atau presiden yang memutuskan hukumannya.

"Kedua, pendapat yang agak ekstrem yaitu menyebutkan kelompok Bughat atau pembangkangnya disebut sebagai kafir, jadi sudah keluar dari Islam. Oleh karena itu hukumannya boleh langsung dibunuh, diperangi langsung atas perintah Imam, Raja atau Presiden,” katanya.

Lalu, yang ketiga adalah bahwa orang Bughat ini dianggap sebagai fasik. Sehingga dilihat dulu dan diberikan kesempatan untuk taubat telebih dahulu. Jika melawan atau menolak baru boleh diperangi. Namun dalam hal ini, Darraz menekankan untuk menganalisis secara hati-hati membedakan antara yang kritis dengan yang melakukan pembangkangan.

"Karena kritis itu memang menjadi suatu kewajiban dalam Islam. Kita diajarkan untuk tawashshaw, saling menasehati bil haq (dalam kebenaran), saling berwasiat dalam kebaikan, dengan kesabaran guna mencegah kemungkaran. Itu wajib dilakukan tapi dengan bahasa yang bisa diterima oleh siapa pun," tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Terkait


Muhammadiyah Salurkan Rp 6,6 Miliar untuk Korban Gempa Cianjur

Muhammadiyah Telah Salurkan Rp 6,6 M untuk Bencana Cianjur

Walau Cucu Pendiri NU, Gus Dur Sebenarnya Warga Muhammadiyah

Beda Pendapat Elite NU dan Muhammadiyah Soal Sistem Pemilihan Caleg di Pemilu

Universitas Muhammadiyah Riau akan Dirikan Prodi Kedokteran

Republika Digital Ecosystem

Kontak Info

Republika Perwakilan DIY, Jawa Tengah & Jawa Timur. Jalan Perahu nomor 4 Kotabaru, Yogyakarta

Phone: +6274566028 (redaksi), +6274544972 (iklan & sirkulasi) , +6274541582 (fax),+628133426333 (layanan pelanggan)

[email protected]

Ikuti

× Image
Light Dark