Jumat 13 Jan 2023 21:16 WIB

Di Balik Penamaan Yahudi dan Kedudukan Nabi Ibrahim Menurut Keyakinan Mereka

Nabi Ibrahim disebut Yahudi sebagai nenek moyang Bani Israil

Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim disebut Yahudi sebagai nenek moyang Bani Israil
Foto: republika
Ilustrasi Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim disebut Yahudi sebagai nenek moyang Bani Israil

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA- Penggunaan istilah agama samawi tidak sekadar mengacu pada aspek historis dan sumber hukum yang melingkupi Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Akan tetapi, terma tersebut juga mempertegas perbedaan karakteristik ketiga agama itu dengan berbagai ajaran yang berakar dari kebudayaan manusia, seperti Hindu, Buddha, Taoisme, dan lain-lain, yang di kemudian hari dikenal sebagai ‘agama ardhi’ atau agama bumi.

Baca Juga

Dalam New World Encyclopedia dikatakan, orang-orang Yahudi mengklaim Nabi Ibrahim sebagai nenek moyang bangsa Israel (Bani Israil).

Putra sulung Nabi Ibrahim, Ismail alaihissalam, di dalam tradisi Islam dikenal sebagai leluhur bangsa Arab. Sementara, menurut tradisi Kristen, Nabi Ibrahim (yang di dalam Bibel disebut Abraham) digambarkan sebagai ‘Bapak Orang-orang Beriman’.

Orang-orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai keturunan Yaqub AS (cucu Nabi Ibrahim dari putra keduanya, Ishaq AS). Kata ‘Yahudi’ sendiri berasal dari bahasa Ibrani ‘Yehudi’ yang berarti ‘orang-orang dari Kerajaan Yehuda’.

Di dalam Bibel disebutkan, Yehuda adalah putra keempat Yaqub AS dan merupakan salah satu dari 13 pendiri suku Bani Israil.

Menurut catatan sejarah, pemakaian kata ‘Yahudi’ untuk menyebut nama agama yang dianut mayoritas Bani Israil baru muncul pada abad keenam dan kelima Sebelum Masehi (SM).

Pada masa-masa tersebut, Kerajaan Yehuda yang terletak di kawasan Levant (tanah Palestina sekarang—Red) jatuh ke dalam perbudakan bangsa Babilonia.

Sebagian dari kalangan Bani Israil yang diasingkan di Babilonia ketika itu lalu mencoba merumuskan kembali konsep tentang ajaran monoteisme yang dibawa Nabi Ibrahim.

Mulai dari prinsip-prinsip hukum ilahiyah, hingga kitab-kitab suci yang pernah diturunkan kepada bangsa mereka, dirangkai menjadi sebuah sistem teologi.

“Agama tersebut kemudian mendominasi penduduk bekas Kerajaan Yehuda pada abad-abad berikutnya sehingga dari situ kemudian muncul istilah penamaan agama Yahudi,” ungkap pakar sejarah dari Universitas Columbia Amerika Serikat, Salo Wittmayer Baron, dalam buku A History of Judaism.

Pada pengujung abad pertama Masehi, naskah Bibel berbahasa Ibrani baru selesai ditulis. Antara abad ketiga dan ketujuh, sejumlah pendeta merampungkan penyusunan Mishnah yang kemudian dianggap sebagai kitab hukum definitif agama Yahudi.

Pada periode yang sama, kitab Talmud, yang merupakan interpretasi tertulis atas naskah-naskah suci Yahudi, selesai pula disusun. Isi dari kitab-kitab itulah yang kemudian menjadi pedoman dasar ibadah orang-orang Yahudi di berbagai belahan dunia.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement