REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam menghadapi persaingan global yang semakin kompetitif, para peserta didik telah dibekali berbagai keterampilan abad 21 di sekolah mereka. Namun bagaimanapun, metode ajar yang menyenangkan tetap harus dikedepankan agar peserta didik terhindar dari masalah mental.
Hal itu dikemukakan oleh Associate Prof Grace Oakley dari University of Western Australia dalam sesi panel Acer Edu Summit 2023 di Shangrila Hotel, Jakarta, Selasa (31/1/2023).
"Skill abad ke-21 sangat penting, di Australia juga sudah secara masif diajarkan. Tetapi siswa juga jangan terlalu dibuat stres, karena dampaknya kerap tak baik bagi mental mereka," kata Prof Grace.
Ia juga mendorong tenaga pendidik untuk menciptakan ruang aman dan inklusif bagi semua peserta didiknya, baik itu di dalam kelas atau di forum ajar lainnya. Seperti tidak intimidatif terhadap pendapat atau kritik dari siswa, memberi keleluasaan mereka untuk bertanya, dan menyampaikan materi ajar dengan metode dua arah.
"Semua murid juga harus dipersiapkan untuk mampu memecahkan masalah. Caranya, guru melakukan metode ajar dua arah, sehingga murid yang jadi penggeraknya, guru hanya memfasilitasi," kata Grace.
Prof Grace juga melihat bahwa transformasi digital cukup membuat posisi guru menjadi lebih dilematis. Di Australia misalnya, ia menemukan banyak guru yang merasakan kelelahan (burnout). Ini diartikan sebagai kondisi stres kronis dimana pekerja merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional gara-gara pekerjaannya.
"Di sisi lain ada berbagai masalah di antara para pengajar, dimana mereka juga belum bisa beradaptasi dengan teknologi jadi semacam burnout," kata Prof Grace.
Di Indonesia sendiri, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) telah menggagas "6C" yang merupakan istilah kecakapan abad ke-21. Itu merupakan singkatan dari character (karakter), citizenship (kewarganegaraan), critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreatif), collaboration (kolaborasi), dan communication (komunikasi).