REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Harga minyak naik tipis di awal perdagangan Asia, Senin (6/2/2023) pagi, setelah jatuh sekitar 8,0 persen minggu lalu ke posisi terendah lebih dari tiga minggu. Saat itu, kegelisahan atas ekonomi-ekonomi utama melebihi tanda-tanda pemulihan permintaan di China, importir minyak utama dunia.
Minyak mentah berjangka Brent merangkak naik 16 sen atau 0,2 persen, menjadi diperdagangkan di 80,10 dolar AS per barel pada pukul 00.22 GMT.
Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik 15 sen atau 0,2 persen, menjadi diperdagangkan di 73,54 dolar AS per barel.
Jumat (3/2/2023) lalu, WTI dan Brent turun 3,0 persen setelah data pekerjaan AS yang kuat menimbulkan kekhawatiran bahwa Federal Reserve akan terus menaikkan suku bunga, yang pada gilirannya mendorong dolar AS lebih kuat.
Sementara kekhawatiran resesi mendominasi pasar pekan lalu, pada Minggu (5/2), Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol menyoroti bahwa pemulihan China tetap menjadi pendorong utama harga minyak.
IEA memperkirakan setengah dari pertumbuhan permintaan minyak global tahun ini akan datang dari China, di mana Birol mengatakan permintaan bahan bakar jet melonjak.
Dia mengatakan tergantung pada seberapa kuat pemulihan itu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, bersama-sama disebut OPEC+, mungkin harus menilai kembali keputusan mereka untuk memangkas produksi sebesar 2 juta barel per hari hingga 2023.
"Jika permintaan naik sangat kuat, jika ekonomi China pulih, maka menurut saya, akan ada kebutuhan bagi negara-negara OPEC+ untuk melihat kebijakan (produksi) mereka," kata Birol kepada Reuters di sela-sela konferensi di India.
Batas harga produk Rusia mulai berlaku pada Minggu (5/2), dengan Kelompok Tujuh (G7), Uni Eropa dan Australia menyepakati batas 100 dolar AS per barel untuk minyak diesel dan produk lain yang diperdagangkan dengan harga premium, dan 45 dolar AS per barel untuk produk yang diperdagangkan dengan diskon, seperti bahan bakar minyak.
"Untuk saat ini, pasar memperkirakan negara-negara non-Uni Eropa akan meningkatkan impor minyak mentah Rusia, sehingga menciptakan sedikit gangguan pada keseluruhan pasokan," kata analis ANZ dalam catatan klien.
"Namun demikian, kendala OPEC yang terus berlanjut pada pasokan akan membuat pasar tetap ketat," kata mereka lagi.