REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset di Democratic Initiatives Foundation Olexiy Haran menilai perang menyatukan seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kalangan di Ukraina. Mereka bersama-sama berperang melawan pihak yang ingin menghancurkan demokrasi.
"Hal yang penting perlu diketahui, ini bukan hanya perang antara Rusia dan Ukraina. Ini perang antara demokrasi dan tindakan yang ingin menghancurkan," ujar pendiri Fakultas Ilmu Sosial (Analisis Kebijakan) di National University of Kyiv-Mohyla Academy (UKMA) dalam dialog publik "Mendengarkan Ukraina: Perkembangan Terkini dan Prospek Penyelesaian Krisis" yang diselenggarakan FISIP UI pada Kamis (9/2/023).
Haran mengingat kembali masa ketika Rusia belum menginvasi pada 24 Februari pada 2022. Ketika itu, warga Ukraina bebas berpendapat dan mengutarakan kritik terhadap pemerintah, termasuk dirinya.
Tapi, tindakan itu bukan masalah karena pemerintah Ukraina menerapkan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan untuk warganya berpendapat. Namun, ketika Rusia memulai serangan, warga dan pemerintah pun bergerak bersama untuk melawan, menghentikan sikap yang menentang demokrasi yang selama ini berjalan.
Rusia dinilai ingin menghilangkan identitas dari Ukraina, mulai dari bahasa hingga kultur yang ada. Tindakan ini sangat bertentang dengan demokrasi, walau dalam propaganda Rusia selalu menekankan kedua wilayah merupakan satu kesatuan.
Bahkan Haran menyamakan kondisi Ukraina sama dengan Indonesia. Kedua negara sama-sama memiliki sejarah melawan kekuasaan kolonial yang menjajah dan berjuang dalam mendapatkan kemerdekaan. Kini warga Ukraina kembali berhadapan dengan Rusia.
"Saya rasa kita memiliki kesamaan, kita melawan kerajaan kolonial dan mendapatkan kemerdekaan," ujar Haran merujuk pada sejarah Kekaisaran Rusia.
Dengan kesamaan ini, Haran meminta Indonesia dan dunia secara keseluruhan untuk mendukung Ukraina. Dia meminta agar bisa dibantu dalam masalah ekonomi, diplomasi, senjata, bahkan sekedar bersuara dan menyatakan dukungan.