Jumat 10 Mar 2023 08:25 WIB

Eropa Kesulitan Rancang Sistem Imigrasi yang Aman

Eropa masih kesulitan merancang sistem imigrasi untuk lindungi perbatasan

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
 Potongan kayu dan puing lainnya hanyut di pantai, tiga hari setelah perahu migran tenggelam di lepas pantai, di Steccato di Cutro, Provinsi Crotone, Italia selatan,  Rabu (1/3/2023). Korban tewas akibat kapal karam di lepas pantai Calabria di selatan Italia naik menjadi 67 pada 01 Maret 2023, sementara tiga pria ditahan karena dituduh melakukan perdagangan manusia, kata pejabat Italia. Sebuah perahu yang membawa para migran tenggelam di laut lepas di dekat pantai Calabria pada 26 Februari.
Foto: EPA-EFE/CARMELO IMBESI
Potongan kayu dan puing lainnya hanyut di pantai, tiga hari setelah perahu migran tenggelam di lepas pantai, di Steccato di Cutro, Provinsi Crotone, Italia selatan, Rabu (1/3/2023). Korban tewas akibat kapal karam di lepas pantai Calabria di selatan Italia naik menjadi 67 pada 01 Maret 2023, sementara tiga pria ditahan karena dituduh melakukan perdagangan manusia, kata pejabat Italia. Sebuah perahu yang membawa para migran tenggelam di laut lepas di dekat pantai Calabria pada 26 Februari.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Eropa masih kesulitan merancang sistem imigrasi yang melindungi perbatasannya yang luas dengan lebih baik tapi juga menghindari tragedi. Seperti kapal karam di pinggir pantai Italia yang menewaskan setidaknya 70 imigran bulan lalu.

Menteri dalam negeri 27 negara anggota Uni Eropa masih membahas sistem suaka dan masalah teknis untuk menahan gelombang masuk imigran dalam kebijakan yang berlaku paling cepat musim semi 2024.

Baca Juga

"Seperti yang dapat anda lihat, ini tidak bergerak cukup cepat saat kami melihat peristiwa tragis di Italia beberapa hari yang lalu," kata Menteri Dalam Negeri Austria Gerhard Karner, Kamis (9/3/2023).

Di Eropa, kejadiaan kemanusiaan dan penderitaan orang-orang yang lari dari persekusi di negara-negara Afghanistan dan Suriah kerap menempati posisi kedua. Kalah dari retorika populis mengenai kepadatan penduduk, hilangnya identitas nasional dan biaya perumahan imigran.

Namun tragedi seperti kapal karam 26 Februari lalu di pantai Cutro, Italia, masalah ini kembali menjadi fokus. Kabinet pemerintah Italia menggelar rapat dekat lokasi kapal kerap, mereka membahas upaya mengatasi imigran ilegal di salah satu jalur paling mematikan di Laut Tengah.

Beberapa jam sebelum rapat kabinet Italia, sekitar 14 warga Afrika tewas dan 54 lainnya diselamatkan saat kapal yang membawa mereka dari Tunisia ke Eropa tenggelam. Di tingkat Eropa kemajuan dalam upaya mengatasi masalah ini bergerak lambat.

Meski insiden seperti kapal karam di Pulau Lampedusa, Italia yang menewaskan 300 orang lebih diharapkan mendorong negara-negara Eropa bergerak lebih cepat. "Tentu, waktunya sangat penting," kata Ketua Komisi Imigrasi Uni Eropa Ylva Johansson.

Tantangan terbesarnya adalah membuat rencana cepat yang efektif dan sesuai hukum. Terutama setelah tercatat imigran ilegal yang tiba ke Eropa pada tahun 2022 mencapai 330 ribu orang, tertinggi dalam enam tahun terakhir.

Menteri Dalam Negeri Inggris Suella Braverman menggunakan istilah "invasi" dalam menggambarkan gelombang masuk imigran. London mendorong legislasi yang mempercepat upaya menghentikan ribuan imigran menyeberangi Selat Inggris.

Rencana Braverman untuk menahan dan segera memindah imigran ilegal yang tiba di Inggris menuai kecaman masyarakat internasional sebab tidak memberi kesempatan yang adil untuk meminta suaka. Johansson dari Uni Eropa juga mengkritik rencana tersebut.

"Reaksi cepat saya mempertanyakan apakah ini sesuai dengan kewajiban internasional," katanya, menyelaraskan badan pengungsi PBB yang mengatakan "larangan suaka" melanggar konvensi pengungsi PBB.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement