REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan mengubah mindset masyarakat tentang bagaimana memperlakukan hukum pidana menjadi tantangan ke depan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasca disahkan. Ia menuturkan bahwa Undang-Undang KUHP tidak lagi menjadi sarana seseorang untuk balas dendam.
"Katakanlah mungkin barang kita dicuri atau kita ditipu, maka biasanya yang ada di benak korban kejahatan agar pelakunya segera ditangkap, dihukum seberat-beratnya. Artinya apa, kita masih mengedepankan hukum pidana lex talionis," kata Edward dalam acara Kumham Goes to Campus di Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Kita masih menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam, padahal orientasi hukum pidana tidak lagi sebagai sarana balas dendam, jadi perubahan mindset kita dan perubahan aparat penegak hukum ini adalah tantangan terbesar," imbuhnya.
Diketahui sebelumnya Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan RUU KUHP menjadi undang-undang pada awal Januari 2023 lalu. Edward mengungkapkan dua alasan masa sosialisasi KUHP dilakukan selama tiga tahun.
Pertama yaitu agar ada kesamaan parameter, kesamaan standar kesamaan ukuran dana menterjemahkan , dalam mentafsirkan pasal demi pasal yang ada di dalam KUHP.
"Ini semata-mata untuk mencegah agar tidak terjadi disparitas penegakan hukum antara satu daerah dengan daerah yang lain, antara satu aparat penegak hukum dengan aparat penegak hukum yang lain sehingga sasaran sosialisasi kita kepada seluruh masyarakat indonesia, tetapi yang paling utama dan terutama adalah kepada aparat penegakan hukum," ujarnya.
Kemudian alasan kedua, masa sosialisasi ini juga digunakan untuk mempersiapkan berbagai peraturan pelaksanaan dari KUHP itu sendiri.
"Karena KUHP ini tidak begitu rinci mengatur, tetapi membutuhkan berbagai aturan pelaksanaan yang akan melaksanakan KUHP itu sendiri, baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam bentuk peraturan pemerintah," ucapnya.