REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Guru Besar Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Ana Nadhya Abrar, menjadi pembicara dalam Ramadhan Public Lecture yang digelar Masjid Kampus (Maskam) UGM, Jumat (24/3/2023) malam.
Di awal paparannya, Abrar menjabarkan tiga berita yang ditulis dari tiga media berbeda, yaitu berita tentang pengesahan UU Cipta Kerja, berita kedua yaitu tentang peluang Prabowo dan Ganjar menjadi pasangan capres dan cawapres di Pilpres 2024, dan berita ketiga tentang jawaban BEM UI atas tudingan menerima dana dari asing.
"Bertolak dari tiga berita di atas, agaknya kita bisa mengatakan pertama DPR egois tidak menghargai martabat MK. Dua, budaya politik kita belum kompatibel dengan demokrasi. Tiga, DPR merupakan state corporatis menjadi alat politik yang stempel kebijakan pemerintah. Inilah sesungguhnya pesan komunikasi politik yang disampaikan media tentang pemerintah dan DPR," kata dia.
Menyikapi hal tersebut, maka menurutnya perlu menjadikan titik tolak memformulasikan cara mewujudkan pemilih yang cerdas, dan bermartabat. Menurutnya hal tersebut tidak ada salahnya.
"Bukanlah sebuah kesalahan apalagi dosa. ini malah mengilhami kita untuk merencanakan perbuatan baik, kenapa, karena setiap kita pada dasarnya mendambakan hidup bermartabat dan bermakna bagi masyarakat," ujarnya.
Abrar menuturkan, berbuat baik sebaiknya tidak hanya direnungkan, tetapi dipraktikkan. Dalam konteks pemilu, Abrar menyebut ada enam kebaikan yang harus dilakukan dalam mewujudkan pemilih yang cerdas dan bermartabat.
"Yang pertama kita menilai kontestasi politik yang ada, kemudian dari situ akan terlihat sebenarnya siapa yang baik siapa yang nggak," ungkapnya.
Kemudian yang kedua, sebagai pemilih yang cerdas, sebaiknya jangan hanya memahami pikiran rakyat, namun perlu juga memahami jalan pikiran calon presiden.
"Setiap capres pasti punya cara sendiri untuk mewujudkan program-programnya kalau terpilih jadi presiden. Kemudian setelah itu kita coba bayangkan kalau dia terpilih kelak dia akan seperti itu," terangnya. Ketiga, pemilih cerdas hendaknya harus hidup bermoral.
Hidup bermoral artinya hidup dengan tanpa kekerasan. "Kalau kita hidup bermoral seharusnya kita tidak pernah menggunakan kekerasan sekecil apapun karena dengan begitu mengembangkan hidup bersama dengan orang lain, secara damai dan menolak kekerasan secara fisik maupun ideologis," jelasnya.
Keempat pemilih yang cerdas perlu menjaga passion dalam berpolitik. Artinya jangan pernah diombang-ambingkan oleh informasi yang menghadirkan calon A atau calon B lewat media sosial.
"Jangan biarkan diri terjebak dalam kebingungan memilih siapa. Segera rancang jalan keluar dengan mencari informasi ke pihak yang kita percaya," kata dia.
Kelima, pemilih dinilai perlu memperluas jaringan. Hal itu dilakukan supaya bisa memperoleh informasi yang tepat tentang isu yang ada saat ini. Terakhir, pemilih perlu mengenali calon pemimpin secara baik
"Keenam, kita tulis profil singkat tokoh-tokoh yang mengikuti kontestasi politik, dari sana kita akan mengerti siapa sebenarnya mereka. Dan kalau mereka memang layak sesuai kebutuhan politik kita, pantaslah mereka kita pilih," ungkapnya.
"Kematian pemilih berawal dari pengabaian enam tindakan itu. Kematian pemilih bisa juga dipandang sebagai serangan terhdap kehiduapn bernegara yang diam. Kematian pemilih bisa juga dipandang sebagai muslihat agar otoritas masyarakat diserahkan kepada presiden terpilih," imbuhnya.