Tidak ada yang tahu kapan persisnya sepak bola menjadi olah raga yang serius. Ribuan tahun lalu, orang China hanya mengenalnya sebagai permainan olah tubuh saja. Begitu juga orang Inggris yang kemudian mengklaim diri sebagai penemu sepak bola, pada awalnya sepakbola juga hanya sekadar hiburan pembunuh waktu belaka.
Ah, tapi sudahlah. Sepak bola kini sudah berubah total. Orang mengenal berbagai macam taktik teori dalam memainkan si kulit bundar ini. Semua berubah menjadi penuh kerenyit dahi. Yang dahulu-main-main menjadi serius. Bahkan, bagi seorang pelatih di Eropa mengelola klub lebih jauh lebih susah dari pada menjadi Perdana Menteri. Saking beratnya beban, banyak pelatih klub elit bertumbangan: sakit jantung!
Selain itu, dalam dunia moderen ini permainan sepak bola sudah berubah menjadi semacam liturgi. Sama dengan musik, sepak bola kini menjadi salah satu alat pemersatu dunia. Buktinya, lihat beberapa kasus perang dan damai di belahan kawasan Amerika Selatan. Kadang gara-gara sepak bola para gerilyawan bersenjata dan para pembangkang politik, rela menunda sejenak perseteruannya. Dan pada saat lain, ada juga yang berubah mengamuk lagi setelah pertandingan usai.
Bahkan, di benua gila bola itu tercatat ada negara yang negara yang memulai perang dengan tetangganya gara-gara tim nasionalnya kalah.
Dengan kata lain, dengan sedikit menyitir Karl Marx, sepak bola itu sudah menjadi candu. Bayangkan saja, pada hari Minggu kebanyakan orang Inggris lebih suka memilih pergi ke stadion untuk melihat David Beckham atau Michael Owen memakai 'celana kolor' mengejar, berlari lintang-pukang, dan mengerahkan tenaga untuk menendang bola. Stadion menjadi tempat pertemuan akbar. Sedangkan gereja malah kesepian.
Begitu juga di Brasil. Orang mengatakan, saking 'gilanya' mereka dengan sepak bola, di sana sepak bola sudah seperti agama. Kesusahan dan kemiskinan hidup dilupakan orang dengan cara menggocek ramai-ramai sebuah benda bundar dari kulit yang disebut bola. Akibatnya, tidak mengherankan bila ada seorang kolumnis kondang Inggris sampai berani mengatakan, di dusun-dusun di Brasil boleh saja tidak berdiri gereja, tapi pasti ada lapangan sepakbolanya.
Dalam sejarah peradaban Islam sendiri, sepak bola pun mempunyai catatan khusus. Para pengikut Islam Syiah misalnya, di masa lalu pernah mengharamkan sepak bola. Menurut mereka sepakbola mengingatkan pada sejarah kelam mengenai peristiwa pembantaian Hasan dan Husein. Menendang bola tidak ubahnya dengan menendang dua buah kepala cucu nabi yang dipenggal secara tidak beradab di Karbala.
Meski begitu, sepak bola moderen juga tidak sepi dari kebrutalan. Ingat tragedi stadion Heysel Belgia, atau tawuran hooligan Inggris yang akut, juga robohnya stadion di Nigeria. Semua berdarah-darah. Dan tak beda dengan anggapan kaum Syiah itu, sepak bola ternyata acap kali masih menjadi ladang pembantaian yang sebenarnya.
Dan susahnya lagi, sebelum bertanding dimulai hampir semua pemain menyebut nama Tuhan. Lihat saja kejadian setiap kali terjadi pergantian pemain. Mereka yang Kristen menyilangkan tanda salib ke dada dan dahi. Mereka yang Islam menengadahkan tangan. Nama Tuhan akhirnya terus dibawa-bawa dalam permainan ini. Minimal menjadi semacam katarsis.
Pada sisi lain, sepak bola bagi yang orang religius bisa juga dijadikan sebagai nasehat konkrit betapa rentannya eksistensi manusia. Nasib bisa menggelinding ke mana saja. Untung dan sial, menang dan kalah, semuanya tidak ada yang pasti. Bisa berubah ke mana saja. Menggelinding serta jatuh seperti bola.
Dan yang paling menggelikan, ketika para pemain bola merasa ketakutan akan datangnya kekalahan, di abad yang rasional ini masih saja banyak orang yang percaya akan jampi-jampi dukun. Pada kompetisi piala Afrika, tim Kamerun dipersoalkan karena membawa jampi-jampi dari dukun Vodoo-nya.
Di Indonesia kejadian yang menggelikan itu jua masih kerap terjadi. Masih ingat peristiwa beberapa tahun lalu ketika Persebaya hendak bertarung di final Piala Liga. Sebelum pergi ke Jakarta mereka minta doa kepada seorang kyai kondang. Minta 'suwuk' begitu istilahnya.
Tidak ada kepastian nasib itulah hingga orang India, termasuk Jawa, percaya putaran hidup manusia itu bundar tak beda dengan bola. Bundar bola identik dengan kekosongan atau angka nol. Ketika nasib baik datang berarti hidup tengah berada di atas. Begitu juga sebaliknya, bila nasib buruk menghampiri berarti hidup kini berada di titik putaran bawah. Semua datang dan pergi secara pararel, persis putaran senjata cakra milik Khrisna. Tapi memang begitulah semenjak maraknya pabrikan raksasa dan meluasnya jaringan televisi mulai awal 1960, sepak bola menjadi permainan yang semakin rumit.
Kalau dahulu George Fontaine dalam putaran final Piala Dunia bisa memasukan tiga belas gol ke gawang lawan, rekornya itu hingga kini tidak ada satu pun bisa melewatinya. Paling tinggi semenjak tahun Piala Dunia 1978 di Argentina, striker kampiun dari negara manapun, hanya bisa memasukan paling banyak enam gol saja.
Taktik sepakbola semakin canggih. Kalau dahulu ada model total football Belanda, kick and rush Inggris, catenaccio Italia, Samba Brasil, dan Tango Argentina, semua istilah itu kini hampir-hampir sudah tidak bisa dikenali lagi. Gaya bermain sepak bola semakin hari semakin seragam. Kalah menang menjadi semakin nisbi. Si jawara dan pecundang datangnya tak bisa dipastikan. Bola memang boleh sama bundar, tapi nasib siapa tahu!