REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Kisah kepahlawanan Ashabul Kahfi terus hidup di tengah masyarakat Ephesus dan Romawi pada umumnya.
M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan, ayat-ayat yang menguraikan kisah Para Penghuni Gua (Ashabul Kahfi) sama halnya dengan kisah-kisah pada umumnya yang terkandung di dalam Alquran, yakni siapa nama pelakunya atau di mana dan kapan terjadinya peristiwa yang dimaksud tidak disebutkan. Hal itu untuk lebih mengarahkan pembaca pada inti dan hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut.
Bagaimanapun, peristiwa Ashabul Kahfi sungguh-sungguh terjadi dalam sejarah. Quraish mengutip lima lokasi yang diduga menjadi lokasi persembunyian orang-orang beriman tersebut.
Pertama, di Ephesus, suatu kota kuno di pesisir Turki Barat, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Distrik Selcuk, Provinsi Izmir, Turki. Kedua, gua di Qasium, Kota ash-Shalihiyyah, dekat Damaskus, Su riah. Ketiga, Gua al-Batra di Palestina.
Keempat, gua di wilayah Skandinavia (Eropa Utara). Kelima, Gua Rajib, yang berlokasi kira-kira delapan kilometer dari Amman, Yordania.
Enam orang pejabat negeri Ephesus yaitu Maximilian, Jamblichus, Martin, John, Dionysius, dan Constantine serta seorang penggembala, Antonius, berhasil melarikan diri dari kejaran tentara Gubernur Daqyanus.
Mereka berupaya menyelamatkan iman di tengah tekanan penguasa yang menggencarkan kemusyrikan. Pada masa itu, Pemerintah Romawi tidak segan-segan menyiksa kaum Nasrani hanya karena mereka menolak menyembah dewa-dewi (politeisme).
Apakah dengan lari ke dalam gua para Ashabul Kahfi takut? Tidak dapat dianggap demikian. Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, Quraish berfokus pada tafsir surah Al Kahfi ayat ke-10.
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
"(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)"."
Tujuh pemuda itu bersembunyi bukan dalam rangka mencari jalan pintas, menghindari masyarakat, atau enggan berusaha lebih keras lagi. Sebelum beranjak ke gua, mereka telah melakukan segala upaya yang mungkin. Jelaslah bahwa para pemuda itu sudah sampai batas kemampuan.
Dalam kondisi demikian, pertolongan pun datang dari sisi Allah SWT. Dalam ayat tersebut, mesti diketahui bahwa kata-kata min ladunka berbeda daripada min `indika—meski secara harfiah artinya sama: `dari sisi-Mu'.
Yang pertama itu merujuk pada sesuatu yang bersumber dari Allah SWT yang sifatnya di luar kemampuan manusia untuk membayangkannya.
Dalam bidang sufisme, misalnya, ilmu laduni dipahami sebagai ilmu yang diperoleh seseorang secara langsung dari Tuhan. Sementara, yang kedua juga berasal dari Allah SWT, tetapi masih melalui kalkulasi nalar logika.
Singkat cerita, Ashabul Kahfi berlindung di dalam gua setelah menerima ilham dari Allah SWT. Beberapa hari kemudian, Daqya nus dapat menemukan lokasi persembunyian mereka. Dia pun memerintahkan pasukannya untuk menangkap mereka, tetapi tidak ada satu pun yang berani masuk ke dalam gua.
Mereka tiba-tiba diserang ketakutan, begitu mendekati bibir gua tersebut. Penguasa lalim itu lantas memerintahkan orang-orang untuk menutup seluruh akses masuk ke gua itu. Dia mengira para target buruannya akan mati kelaparan dan membusuk di dalamnya.