REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sholat merupakan ibadah khusus yang sudah diatur sedemikian rupa rukunnya. Sehingga tidak diperbolehkan terdapat penambahan maupun pengurangan dalam sholat. Lantas bolehkah terdapat non-Muslim di barisan sholat?
Ketua Umum PP Aisyiyah Salmah Orbayinah mengatakan, apabila terdapat non-Muslim di barisan sholat maka hal demikian tidak bisa dibenarkan. Meskipun dalihnya adalah moderasi beragama.
"Non muslim ada dalam barisan sholat, itu keliru. Kita memang dianjurkan untuk bertoleransi dan bermoderasi beragama, tapi penempatannya (moderasi beragama) harus pas, harus pada tempatnya, bukan moderasi beragama yang serampangan dan kebablasan," kata Salmah saat dihubungi Republika, belum lama ini.
Sebab, dia menjelaakan, sholat itu tujuannya ke Allah. Bahwa sesungguhnya sholat, ibadah, hidup, dan matinya manusia adalah untuk Allah SWT. Yakni semata-mata dilakukan dengan tujuan Allah semata.
"Inna sholati wa nusuki wa mayahya wa mamati lillahi rabbil alamin. Jadi sholat bukan karena manusia, sholat harus tujuannya ke Allah. Jangan kebablasan dalam bermoderasi, ada batasan-batasan tertentu dalam agama yang khusus yang tidak boleh dilanggar," ujar dia.
Seperti diketahui, selain soal sholat berjamaah berjarak dan bercampur di Pesantren Al Zaytun, ternyata ada seorang non-Muslim yang ikut dalam barisan sholat. Hal tersebut terungkap setelah Kemenag Indramayu mendatangi pimpinan pesantren dan meminta klarifikasi, Rabu (26/4/2023).
Soal ini, Kasubag TU Kantor Kemenag Kabupaten Indramayu, Aan Fathul Anwar, mengatakan, mengenai adanya seorang laki-laki Non-Muslim yang ikut dalam barisan jamaah sholat Id, Aan menyatakan bahwa Mahad Al-Zaytun selama ini menerapkan moderasi yang sangat bagus.
‘’(Seorang Non-Muslim ditempatkan di barisan depan jamaah sholat) itu mungkin menghormati,’’ tutur Aan kepada Republika, Kamis (27/4/2023)
Lebih lanjut Aan menyatakan, Kemenag hanya bisa memberikan arahan dan tidak bisa memaksakan suatu paham atau ajaran yang diyakini kelompok tertentu. Selagi ajaran tersebut tidak menyimpang. Dia mencontohkan, di Indonesia ada NU, Muhammadiyah, Persis, Al Wasliyah, Al Irsyad dan lainnya.
‘’Mereka muslim semua. Kita tidak bisa memaksakan dengan konsep pemahaman keagamaan mereka,’’ tukas Aan.