Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Pada 16 Mei 2023, 27 negara yang tergabung dalam aliansi Uni Eropa secara resmi mengadopsi peraturan baru yang akan membantu blok tersebut mengurangi kontribusinya terhadap deforestasi global.
Di bawah peraturan tersebut, perusahaan-perusahaan yang memperdagangkan komoditas kelapa sawit, kayu, kopi, kakao, karet, dan kedelai harus memverifikasi bahwa barang-barang yang mereka jual di Uni Eropa tidak menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan. Peraturan ini juga mencakup produk turunan, seperti cokelat atau kertas.
Undang-undang ini juga akan memaksa perusahaan untuk menunjukkan bahwa barang yang mereka impor telah mematuhi peraturan di negara asal, termasuk tentang hak asasi manusia dan perlindungan masyarakat adat.
Uni Eropa mengatakan tanpa peraturan baru ini, mereka bertanggung jawab atas hilangnya 248.000 hektare deforestasi per tahun. Luasnya hampir sama dengan negara anggota Luksemburg.
Menurut World Resource Institute, area hutan seluas 10 lapangan sepak bola menghilang di dunia setiap menitnya. Sementara Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperkirakan bahwa 420 juta hektare (1,6 juta mil persegi) hutan-wilayah yang lebih luas dari Uni Eropa-telah dirusak antara tahun 1990 dan 2020.
Mayoritas komoditas yang terancam dilarang diperdagangkan di Uni Eropa ini dihasilkan di wilayah Indonesia. Bersama dengan Malaysia, Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar dunia. Sementara Indonesia berada di urutan keempat sebagai produsen kopi terbesar dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia.
Untuk komoditas karet, Indonesia merupakan negara produsen terbesar kedua dunia setelah Thailand. Sedangkan Vietnam, India, dan Cina secara berturut-turut berada di posisi ketiga, keempat, dan kelima.
Menurut Worldatlas, tahun 2022 Indonesia jadi produsen kakao terbesar dunia di urutan ketiga dengan total produksi 739.483 ton. Setelah Pantai Gading di urutan pertama sebesar 2,2 juta ton dan Ghana sebesar 800 ribu ton.
Sebagai negara yang masuk daftar lima besar produsen dunia untuk komoditas yang dituding Uni Eropa sebagai pemicu deforestasi global, saatnya Indonesia menggalang aliansi dengan negara produsen lainnya. Dengan aliansi ini, negara-negara produsen sawit, kopi, karet, dan kakao memiliki kekuatan untuk menggugat aturan Uni Eropa ini ke organisasi perdagangan dunia, World Trade Organization (WTO).
Dalam membentuk aliansi, Indonesia dapat belajar pada BRICS, yakni aliansi lima negara berkembang terdepan di dunia. BRICS adalah akronim dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan.
BRICS memiliki tujuan untuk membenahi tata kelola global dan reformasi keuangan yang dimana dapat merubah kuota dan kekuatan suara di Bank Dunia maupun IMF yang diberikan kepada negara-negara berkembang.
Dalam perjalanannya, sejumlah negara tertarik untuk bergabung dalam aliansi BRICS. Di antaranya, Arab Saudi dan Iran yang secara resmi meminta untuk bergabung dengan BRICS.
Sementara negara lain yang menunjukkan minat untuk bergabung adalah Argentina, Uni Emirat Arab, Aljazair, Mesir, dan Bahrain, ditambah satu negara dari Afrika Timur dan satu negara Afrika Barat.
Sejarah mencatat, Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno berhasil membentuk aliansi internasional, yakni Gerakan Non Blok (GNB) yang beranggotakan lebih dari 100 negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang menginisiasi berdirinya GNB bersama empat negara lainnya, yaitu Republik Persatuan Arab-Mesir, India, Yugoslavia, dan Ghana.
Keberhasilan Indonesia dalam membentuk aliansi internasional pada masa pemerintahan Soekarno, bisa saja terulang pada masa sekarang. Terlebih, posisi Indonesia saat ini dalam sejumlah aliansi ekonomi dan perdagangan global cukup diperhitungkan.