REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komuniasi antara Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof Denny Indrayana dan Menko Polhukam, Prof Mahfud MD menuai polemik belakangan. Kondisi itu membuat Denny merasa perlu meluruskan beberapa isu yang dirasa tidak tepat.
Ia menekankan, Mahfud tidak hanya senior, tapi guru. Ia yakin, kapasitas intelektual dan integritas moral Mahfud tidak terbeli dan perjuangannya sama-sama menegakkan hukum yang adil, tanpa mafia dan tanpa korupsi.
Bahkan, Denny mengaku turut belajar dari Mahfud soal strategi mengunggah cuitan-cuitan perkara hukum dan ruang gelap ke ruang terang publik. Bagi Denny, itu dirasa penting agar lebih terkontrol dan mudah diawasi.
Andai Jokowi menjadikan Mahfud sebagai cawapres di 2019, Denny mengaku akan memilihnya. Saat ini, ia merasa sudah tepat survei Litbang Kompas bahwa, rapor merah Jokowi ada di bidang penegakan hukum dan antikorupsi.
"Karena itu, harus ada perubahan dan tidak layak dilanjutkan," kata Denny, Selasa (6/6).
Kesamaan visi dan misi yang membuat mereka sering bertukar silaturahim, baik di Yogyakarta maupun di Melbourne. Pun soal putusan MK, Denny sudah menegaskan ke Mahfud tidak ada pembocoran rahasia negara lewat telepon.
Walau tidak pernah ditanyakan, Denny menekankan, sumber kredibelnya diketahui Mahfud. Merupakan orang yang mereka hormati sebagai tokoh antikorupsi, integritas tidak terbeli dan kapasitas yang mumpuni.
Ihwal Pilpres 2024, Denny dan Mahfud sepakat hukum tidak boleh diperalat dan direndahkan melanggengkan kekuasaan. Saat ada pimpinan KPK menyampaikan akan menersangkakan pimpinan partai, respons Mahfud dirasa sudah tepat.
Namun, ia berpendapat, dalam perjalanan hukum masih dijadikan alat daya tawar kepada pimpinan parpol untuk menentukan arah koalisi dan paslon. Hal itulah yang dipuisikan Denny dalam 'Korupsilah dalam Pelukan Koalisi'.
"Dalam konten Youtube yang diunggah Refly Harun saya katakan ada gerakan serius menunda pemilu. Salah satunya politisi senior yang datang ke Prof Mahfud mengatakan sudah siap dan tinggal eksekusi soal penundaan pemilu ," ujar Denny.
Rencananya, saat Presiden Jokowi di luar negeri diadakan Sidang Istimewa MPR yang menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan. Walaupun, Mahfud tegas menyatakan, perintah dari Jokowi melaksanakan pemilu tepat waktu.
Terkait isu penundaan pemilu serius dilakukan, Denny dan Mahfud sepakat menggagalkan. Sebab, kalau pemilu tidak dilaksanakan tepat waktu, maka sangat berbahaya bagi demokrasi dan ketertiban di Tanah Air.
"Itu pula sebabnya saya menulis surat terbuka kepada Ketum Megawati karena PDIP punya kekuatan dan terus konsisten menolak tiga periode jabatan presiden dan penundaan pemilu," kata Denny.
Terkait penjegalan Anies sudah pula didiskusikan kepada Mahfud, bersama seorang sahabat di Yogyakarta yang sudah sepakat mendukung Anies. Ini yang menjadi momen Mahfud memberi dukungan kepada Denny melakukan itu.
"Respons Prof Mahfud, 'bagus, saya dukung, pastikan Anies jadi capres ya, supaya demokrasi kita makin sehat'," ujar Denny mengutip Mahfud.
Sebelum pulang, Mahfud menanyakan apakah tidak mempertimbangkan tokoh lain sebagai capres dan menyebutkan satu nama. Denny menilai, bahwa tokoh itu menjadikan Mahfud cawapresnya, kontestasi akan lebih menarik.
Sayangnya, lanjut Denny, Mahfud punya arus dukungan di bawah, tidak terlalu menarik di level atas parpol. Ia juga tidak yakin Mahfud punya dana, dan yang menjadi salah satu syarat-syarat paslon pilpres merupakan logistik.
"Ketika sang tokoh yang didukung Prof Mahfud menyatakan tidak memilih pimpinan sebagai cawapres, tapi masih membutuhkan parpolnya sebagai rekan koalisi, sang ketum menyebut angka Rp 5 triliun sebagai harga jual partainya," kata Denny.