Kamis 08 Jun 2023 19:09 WIB

Lima Hal yang Dipercaya Bisa Kurangi Lonjakan Depresi

Depresi adalah 'penyakit' serius, tapi dapat diobati.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Qommarria Rostanti
Menangis ketika depresi (ilustrasi). Setidaknya ada lima hal yang dipercaya mampu mengurangi lonjakan depresi.
Foto: www.freepik.com
Menangis ketika depresi (ilustrasi). Setidaknya ada lima hal yang dipercaya mampu mengurangi lonjakan depresi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut laporan jajak pendapat yang diadakan Gallup (perusahaan analitik di Amerika Serikat) baru-baru ini, 29 persen orang Amerika telah didiagnosis menderita depresi setidaknya sekali seumur hidup mereka. Mereka yang berusia 18 hingga 29 tahun (34,3 persen) dan 30 hingga 44 tahun (34,9 persen) memiliki tingkat depresi yang jauh lebih tinggi dibandingkan orang yang berusia lebih tua atau lebih dari 44 tahun.

Lebih dari sepertiga wanita (36,7 persen) melaporkan mengalami depresi di beberapa titik di seumur hidup mereka. Konselor kesehatan mental berlisensi dan pendiri NYC Therapeutic Wellness, Elisabeth Gulotta, mengatakan, isolasi dan kesepian adalah epidemi yang berkontribusi terhadap meningkatnya tingkat depresi ini.

Baca Juga

“Orang membutuhkan orang dan koneksi, dan kita hidup di dunia yang lebih terisolasi dan terputus,” ujar Gulotta, dilansir laman Health, Kamis (8/6/2023).

Pekerja sosial klinis berlisensi dan manajer klinis kesehatan perilaku di Sedgwick, Mark Debus, mengungkapkan faktor lain yang berkontribusi pada depresi, termasuk genetika, biokimia, stresor lingkungan, dan perbedaan kepribadian. Pekerjaan seseorang juga dapat menyebabkan lonjakan depresi. Misalnya penegak hukum, staf medis, guru, dan pekerja sosial.

Menurut para ahli, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat depresi yang meningkat di Amerika Serikat (AS). Berikut ini penjelasannya:

1. Memelihara hubungan sosial

Psikiatris Erickson-Schroth mengatakan, koneksi adalah kunci kesejahteraan emosional. “Ketika orang merasa terhubung dengan teman, keluarga, atau (komunitas) mereka, mereka cenderung tidak akan berjuang dengan kesehatan mental mereka,” ujarnya.

2. Memenuhi kebutuhan esensial

Dia mengatakan, kaum muda menghadapi rekor tingkat stres. Saat ini, kata dia, hampir tiga dari lima mahasiswa menghadapi ketidakamanan kebutuhan esensial, termasuk ketidakstabilan perumahan, kerawanan pangan, atau kurangnya akses ke perawatan kesehatan yang terjangkau. Demikian pula, utang dan tekanan keuangan telah dikaitkan dengan depresi, sementara kematian akibat bunuh diri meningkat selama krisis keuangan.

“Lebih buruk lagi, salah satu alasan utama orang tidak mencari bantuan kesehatan mental adalah karena keuangan,” ujarnya.

3. Berbicara secara terbuka

Berbicara secara terbuka menambah lapisan konektivitas ekstra dalam ruang kesehatan mental. Ketika orang tahu betapa meluasnya depresi, mereka cenderung tidak merasa sendiri. Mereka juga dapat belajar bahwa meskipun depresi adalah penyakit yang serius, namun masih dapat diobati.

“Menurut saya, terus mengembangkan percakapan seputar kesehatan mental, menormalkan dan menghilangkan stigma serta membuat layanan lebih mudah diakses, akan terus membantu,” kata Gulotta.

4. Kolaborasi antara profesional kesehatan

Karena orang yang didiagnosis dengan depresi sering memiliki banyak kebutuhan untuk pengobatan dan intervensi, penting bagi penyedia layanan kesehatan dan penyedia kesehatan mental untuk berkolaborasi. Dosen di Fakultas Pendidikan dan Psikologi Konseling Santa Clara University, Ling Lam, mengatakan hal ini tidak hanya berpotensi mengurangi tingkat depresi, tetapi juga terbukti meningkatkan kesehatan pasien, meningkatkan kualitas perawatan, dan mengarah pada kepuasan.

5. Memudahkan akses perawatan kesehatan mental

Bagi banyak orang, akses ke perawatan kesehatan mental adalah penghalang terbesar untuk mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan. Entah orang tidak memiliki asuransi kesehatan untuk membayar perawatan atau mereka tidak mampu membayar biaya yang terlibat. "Selain itu, beberapa daerah di negara ini kekurangan profesional dan layanan kesehatan jiwa secara umum," ujar Debus.

Gulotta mengatakan, masih ada kesenjangan dalam psikoedukasi, terutama bagi anggota keluarga yang tidak mengetahui cara menavigasi sistem kesehatan mental dan mendapatkan bantuan serta dukungan untuk orang tersayang. Faktor lain yang dapat membatasi akses termasuk kurangnya transportasi atau pengasuhan anak, kendala bahasa, tantangan logistik, dan sistem kepercayaan terkait stigma. Bahkan waktu tunggu yang lama untuk pengobatan, keyakinan tentang swasembada, dan kekhawatiran tentang privasi dapat membatasi akses.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement