REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, memastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat untuk penanganan stunting di daerah itu sudah sesuai dengan kebutuhan.
"Bahkan, tidak ada anggaran perjalanan dinas penanganan stunting yang melebihi target di Kota Surabaya," kata dia di Surabaya.
Dijelaskan, APBD Surabaya sudah dialokasikan per rekening sesuai keperluan sehingga bisa dicairkan ketika hanya akan diperlukan.
"Kan tidak mungkin, anggarannya untuk dibelikan kudapan, tapi perjalanan dinasnya dinaikkan pesawat. Nah, ini saya juga bingung, tapi saya pastikan di Surabaya tidak yang seperti itu (perjalanan dinasnya, red.), karena anggarannya sudah per rekening," katanya.
Ia menyampaikan APBD 2023 senilai Rp 11,2 triliun itu, 50,2 persen untuk penanganan anak di Surabaya. Alokasi dana untuk anak itu terdiri atas berbagai item, antara lain penanganan stunting, gizi buruk, pencegahan kematian ibu dan anak.
"Ini saya lihat secara globalnya ya, karena stunting itu tidak bisa dilihat dari satu sisi. Karena stunting itu bisa dimulai dari pranikah, terus gizi buruk, kematian ibu dan anak. Karena menangani stunting itu tidak hanya memberi asupan gizi untuk anak saja, tapi yang akan menikah juga kita beri zat besi, setelah menikah diberi apa lagi," ujarnya.
Jumlah balita stunting di Surabaya saat ini 712 anak, di antara 82 anak mengalami penyakit kongenital atau penyakit bawaan, 96 balita penyakit kronis, dan 494 balita lainnya penyakit berulang, seperti batuk dan pilek, sedangkan 38 balita lainnya tanpa penyakit.
"Apabila mau zero stunting maka yang harus cepat ditangani adalah yang mengalami penyakit berulang, kronis tapi yang TBC itu bisa disembuhkan. Namun untuk yang hidrosefalus sudah tidak mungkin untuk disembuhkan," jelas dia.
Di antara 712 balita itu, ada tiga balita yang baru mengalami stunting, masing-masing mengalami penyakit kronis, penyakit bawaan, dan penyakit berulang.
"Kemarin juga ada lagi dari luar kota masuk ke Surabaya, kita nggak bisa mencegah itu, jadi mau tidak mau kami tanggung. Mereka warga KTP Surabaya, sebelumnya tinggal di luar Surabaya, rumahnya tidak ada tapi sekarang kos di Surabaya, sehingga stunting-nya bertambah," katanya.
Selama tiga tahun terakhir, prevalensi stunting di Kota Surabaya mengalami penurunan signifikan. Yakni, pada 2020 terdapat 12.788 kasus stunting, pada 2021 turun menjadi 6.722 kasus, sedangkan hingga akhir Desember 2022 turun menjadi 923 kasus, dan pada pertengahan Juni 2023 turun menjadi 712 kasus.