
Oleh : Titin Sutini, Mahasiswa Program Doktoral Keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung dan Dosen Departemen Keperawatan Anak Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Stunting masih menjadi tantangan serius dalam sektor kesehatan di Indonesia. Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan gizi kronis yang terjadi dalam jangka waktu lama, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan, sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Dampaknya tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan kognitif, produktivitas masa depan, dan daya saing bangsa. Stunting bukan sekadar masalah gizi, tetapi juga terkait dengan sanitasi, pola asuh, serta akses layanan kesehatan. Oleh karena itu, pendekatan multidimensional diperlukan untuk menanganinya, dengan melibatkan peran aktif keluarga, masyarakat, serta kebijakan pemerintah yang efektif dan berkelanjutan.
Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI menunjukkan tren penurunan angka stunting dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, prevalensi nasional masih berada di atas batas standar WHO, yaitu 20 persen. Pada 2022, angka stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen, turun dari 24,4 persen pada 2021. Namun, terdapat disparitas antarwilayah, di mana provinsi seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua memiliki tingkat stunting yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Kabupaten Timor Tengah Selatan di NTT, misalnya, mencatat angka stunting hingga 48,3 persen. Hal ini menegaskan bahwa faktor geografis, ekonomi, dan budaya sangat memengaruhi prevalensi stunting, sehingga strategi penanganan yang berbasis komunitas menjadi sangat penting.
Pemerintah menargetkan penurunan angka stunting hingga 14 persen pada 2024, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan kedua, yaitu mengakhiri kelaparan dan malnutrisi. Untuk mencapai target ini, berbagai lembaga pemerintah seperti Kementerian Kesehatan, BKKBN, dan Kementerian Desa bekerja sama dalam Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Strategi yang diterapkan mencakup intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif, seperti pemberian makanan tambahan, peningkatan layanan kesehatan ibu dan anak, serta edukasi pola asuh. Meskipun tantangannya besar, kerja sama lintas sektor dan peran aktif masyarakat diyakini dapat membantu pencapaian target ini.
Pemerintah menerapkan pendekatan konvergensi program lintas sektor dalam upaya pencegahan dan penurunan stunting. Beberapa program unggulan mencakup pemberian suplemen zat besi bagi ibu hamil, vitamin A bagi balita, pembangunan sanitasi yang layak, serta pemberdayaan ekonomi keluarga. Program Pendamping Keluarga yang digagas BKKBN juga menjadi langkah strategis, di mana tenaga kesehatan, kader PKK, dan petugas KB bekerja sama mendampingi keluarga berisiko stunting. Selain itu, edukasi gizi sejak dini melalui sekolah-sekolah, serta program bantuan pangan bagi ibu hamil dan balita di daerah rawan gizi terus digalakkan. Pemerintah daerah turut didorong untuk menetapkan prioritas program serta mengalokasikan anggaran khusus guna mendukung upaya pencegahan stunting.
Meski berbagai program telah dijalankan, tantangan dalam menurunkan angka stunting masih cukup besar. Rendahnya literasi gizi di masyarakat membuat banyak keluarga belum memahami pentingnya asupan gizi yang tepat, terutama pada masa kehamilan dan awal kehidupan anak. Akses layanan kesehatan yang masih terbatas di daerah terpencil menjadi kendala lain. Pola asuh yang kurang tepat, seperti pemberian MP-ASI yang tidak sesuai, turut memperparah situasi. Sanitasi yang buruk dan keterbatasan akses air bersih juga meningkatkan risiko infeksi yang berkontribusi terhadap stunting. Selain itu, ketimpangan distribusi program pemerintah membuat banyak kelompok rentan belum sepenuhnya terjangkau oleh intervensi yang ada. Kurangnya koordinasi antarinstansi serta lemahnya sistem monitoring dan evaluasi menjadi faktor lain yang memperlambat progres penurunan angka stunting.
Keluarga memiliki peran sentral dalam pencegahan stunting, terutama dalam memastikan kecukupan gizi anak sejak dalam kandungan. Peran ibu sangat penting dalam menyediakan makanan bergizi, memberikan ASI eksklusif selama enam bulan, serta MP-ASI yang berkualitas. Ayah pun memiliki kontribusi signifikan dalam mendukung kesehatan ibu dan anak, baik secara emosional maupun ekonomi. Kesadaran keluarga tentang imunisasi, kebersihan lingkungan, serta pemanfaatan layanan kesehatan harus terus diperkuat. Program pemerintah seperti posyandu dan layanan kesehatan ibu dan anak perlu dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pertumbuhan anak yang sehat.
Perawat spesialis anak memiliki peran strategis dalam pencegahan stunting melalui berbagai aspek, termasuk deteksi dini, edukasi gizi, advokasi kesehatan anak, serta penelitian. Sebagai tenaga kesehatan yang berinteraksi langsung dengan anak dan keluarga, perawat spesialis anak bertanggung jawab dalam pemantauan tumbuh kembang anak serta memberikan intervensi tepat guna untuk mencegah stunting. Mereka juga berperan dalam memberikan edukasi kepada orang tua terkait pemenuhan gizi seimbang, pola asuh yang benar, serta pentingnya akses terhadap layanan kesehatan. Selain itu, kolaborasi dengan dokter, ahli gizi, dan tenaga medis lainnya menjadi kunci dalam memastikan keberhasilan upaya pencegahan stunting. Dengan keterlibatan aktif dalam komunitas, perawat spesialis anak dapat menjadi agen perubahan yang berkontribusi pada penurunan angka stunting secara signifikan.
Dalam praktiknya, berbagai inovasi berbasis penelitian telah dilakukan, seperti pemanfaatan daun kelor sebagai makanan lokal untuk meningkatkan kadar hemoglobin pada anak dengan stunting yang dilakukan di UPT Tawiri Ambon, edukasi program "Isi Piringku" yang berpengaruh terhadap pengetahuan dan perilaku ibu dalam pemenuhan gizi balita di Desa Haria dan Kawa Maluku, serta pemanfaatan edukasi berbasis aplikasi dalam meningkatkan pengetahuan dan status gizi balita di Tangerang, Banten. Hasil penelitian ini menunjukkan dampak signifikan dalam meningkatkan status gizi dan kesehatan anak, memperkuat peran perawat spesialis anak dalam mencegah stunting.
Pencegahan stunting memerlukan strategi komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat. Meski tren penurunan angka stunting menunjukkan kemajuan, masih banyak tantangan yang harus diatasi, seperti rendahnya literasi gizi, akses layanan kesehatan yang terbatas, serta pola asuh yang belum optimal. Pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan berbasis bukti guna menekan angka stunting, namun kesuksesan program-program ini sangat bergantung pada keterlibatan aktif masyarakat, terutama keluarga. Dalam upaya ini, perawat spesialis anak memiliki peran penting sebagai tenaga kesehatan yang memberikan edukasi, pemantauan, serta intervensi dini terhadap anak-anak berisiko stunting. Dengan kolaborasi yang kuat antara kebijakan yang efektif dan partisipasi aktif masyarakat, Indonesia dapat mewujudkan generasi yang lebih sehat, cerdas, dan terbebas dari stunting.