Selasa 25 Jul 2023 17:32 WIB

Indonesia Berpotensi Ekspor Karbon

Pemerintah dan swasta wajib menyelaraskan strategi pengendalian roda perekonomian

Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Selasa (6/6/2023). (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Selasa (6/6/2023). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku industri diprediksi bakal menjaring lebih banyak peluang investasi untuk mengekspor karbon. Khususnya upaya mempercepat pencapaian target pengurangan emisi karbon 29 persen Indonesia pada 2030.  

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady. Dia menuturkan saat ini Indonesia mengekspor batu bara, minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan lainnya, ke depan Indonesia memiliki peluang yang luar biasa besar dalam hal ekspor karbon. 

"Karena kita adalah negara dengan karbon yang sangat kaya. Kami mengapresiasi upaya pemerintah mendorong  kebijakan melalui pembangunan rendah karbon yang membuka peluang bagi sektor swasta. Ini kesempatan yang sangat baik,” kata John melalui keterangan tertulis, Ahad (25/6/2023).

Ia mengatakan, para pelaku industri akan bersama pemerintah mengurangi emisi karbon untuk menangani perubahan iklim. Salah satu kebijakan pemerintah yang menunjukkan keberpihakan pada pembangunan rendah karbon adalah mulai memungut pajak karbon untuk bisnis sektor PLTU berbahan bakar batu bara mulai April 2022.

"Netral karbon adalah keniscayaan bagi pelaku industri. Mau atau tidak mau, kami harus terlibat dalam upaya ini. Pemerintah juga telah menetapkan target pengikisan emisi karbon sebagai kebijakan yang harus dijalankan semua pihak,” ujarnya.

Menurut John, konsep global netral karbon yang merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan emisi karbon di setiap sektor yang dilakukan melalui mekanisme trading, crediting maupun pajak karbon. Selain itu gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia dalam kurun waktu tertentu menjadi jejak karbon yang  memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia di bumi. 

Sebut saja akibatnya seperti kekeringan dan berkurangnya sumber air bersih, cuaca ekstrem, bencana alam, perubahan produksi rantai makanan, dan berbagai kerusakan alam lainnya. "Pada dasarnya, jejak karbon dilakukan hampir di semua aktivitas manusia, khususnya dunia usaha. Saya yakin, siapa pun tidak terhindar dari produksi karbon," ujar John menjelaskan.

Di sisi lain, lanjutnya, melepaskan emisi karbon dari dunia industri membutuhkan waktu lama. Sehingga pemerintah dan swasta wajib menyelaraskan strategi pengendalian roda perekonomian agar dapat menolkan emisi karbon.

"Untuk menyalakan AC (air conditioner) saja, sudah menghasilkan karbon. Nah, yang diperlukan saat ini upaya nyata mencapai target netral karbon agar dapat mengurangi emisi karbon, baik dari sisi teknologi maupun konservasi," kata John.

Di sisi lain, John mengatakan Lippo Group sebagai salah satu pelaku industri di Tanah Air menjadikan transisi energi sebagai daya ungkit untuk mendukung upaya Indonesia memperkuat sistem energi global berkelanjutan. Perseroan telah melalui fase transisi energi melalui proses mengubah penggunaan sumber energi berbasis fosil dan tidak ramah lingkungan ke penggunaan energi bersih yang ramah lingkungan seperti panel surya, air, panas bumi, dan angin. 

Selain itu, kata John, Lippo Group juga secara bertahap menerapkan standar ESG di perusahaan yang menjadi anak usahanya melalui penggunaan teknologi. Diharapkan langkah ini dapat mengikis emisi, baik teknologi konservasi air limbah maupun penggunakan pembangkit listrik energi terbarukan.

“Tak satu pun di muka bumi ini dapat memungkiri komitmen global menciptakan iklim dan lingkungan hidup yang lestari,” ucap dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement