REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan investasi dan mekanisasi pada sektor pertanian membantu mengatasi tantangan pemenuhan pangan Indonesia, yang perlu disikapi secara serius seiring dengan tren meningkatnya konsumsi.
"Produksi pangan dalam negeri tidak mungkin mengikuti tren konsumsi yang meningkat. Perdagangan internasional perlu dimaksimalkan untuk menyediakan pasokan untuk memenuhi permintaan," kata Head of Agriculture Research CIPS Aditya Alta dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Ahad (9/7/2023).
Ia melanjutkan, pertumbuhan ekonomi dan upaya penurunan kemiskinan tidak akan berdampak signifikan untuk mengatasi kerawanan pangan jika pangan tidak tersedia. Lebih jauh lagi, kurangnya pasokan pangan juga bisa berdampak pada masalah gizi.
Saat ini, Indonesia menghadapi tantangan permintaan pangan yang diproyeksikan tidak dapat dipenuhi oleh produksi pangan dalam negeri.
Dari tahun 2018 hingga 2021, permintaan beras, jagung, tepung terigu, dan kedelai nasional secara bertahap meningkat di Indonesia, dengan perkiraan pertumbuhan rata-rata tahunan hampir 300 ribu ton beras, 16 ribu ton jagung, 26 ribu ton tepung terigu, dan sekitar 144 ton kedelai.
Penelitian CIPS terbaru memproyeksikan permintaan pangan hingga tahun 2045 di 20 kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia masih berada di bawah standar asupan kalori harian untuk sumber karbohidrat seperti beras, jagung, dan tepung gandum.
Hal ini terlepas dari jumlah permintaan beras, jagung, dan tepung terigu di 20 kabupaten tersebut yang diproyeksikan meningkat setiap tahunnya sebesar 1,2 persen (beras), 1,27 persen (jagung), dan 6,24 persen (tepung terigu).
Jika pasokan pangan di kabupaten-kabupaten tersebut tidak terpenuhi, maka Visi Indonesia 2045 untuk menciptakan sumber daya manusia berkualitas melalui pola konsumsi yang sehat akan sulit dicapai, terutama di wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi.
Aditya berpendapat proyeksi ini menunjukkan adanya dampak yang serius jika Indonesia gagal memastikan ketersediaan bahan pangan pokok seperti beras, jagung, dan tepung terigu di daerah termiskin.
Maka dari itu, pendekatan holistik harus diambil dengan empat perubahan kebijakan. Pertama, permintaan pangan yang diproyeksikan meningkat di masa depan dapat dipenuhi melalui peningkatan produktivitas secara signifikan dengan memastikan adopsi teknologi pertanian yang lebih merata.
Kedua, peningkatan sasaran serta aspek keberlanjutan dari bantuan peralatan, mesin, maupun inovasi lain di bidang pertanian, seperti varietas unggul baru oleh pemerintah. Pemerintah juga perlu mengevaluasi program-programnya untuk menghindari duplikasi dan meningkatkan kesinambungan dengan inisiatif swasta serta masyarakat.
Perubahan kebijakan ketiga yakni memaksimalkan peran perdagangan internasional dalam mencapai ketahanan pangan. Penerapan berbagai hambatan non-tarif seperti kuota dan rekomendasi impor perlu dievaluasi untuk melihat dampaknya terhadap ketahanan pangan.
"Hambatan yang meningkatkan biaya dan menghambat akses terhadap pangan bergizi dan seimbang bagi konsumen berpenghasilan rendah perlu diminimalisir," ujar dia menambahkan.
Langkah terakhir, kata dia, pemerintah harus bekerja sama dengan sektor swasta untuk melaksanakan reformasi ini. Pangan dan pertanian merupakan sektor yang rumit dan pendekatan holistik untuk perbaikan membutuhkan kerja sama dari semua pemangku kepentingan baik pemerintah maupun swasta.