REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), utang publik global melonjak mencapai rekor. Dikutip dari Reuters, Rabu (12/7/2023), utang global mencapai 92 triliun dolar AS pada 2022 karena pemerintah meminjam untuk melawan krisis pandemi Covid-19 engan beban yang sangat dirasakan oleh negara-negara berkembang.
Utang dalam dan luar negeri di seluruh dunia meningkat lebih dari lima kali lipat dalam dua dekade terakhir. Hal itu melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi dengan produk domestik bruto hanya tiga kali lipat sejak 2002.
"Pasar mungkin belum terlihat menderita. Beberapa negara termiskin di dunia dipaksa memilih antara membayar utang mereka atau melayani rakyat mereka," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Negara-negara berkembang berutang hampir 30 persen dari utang publik global, dimana 70 persennya diwakili oleh China, India, dan Brazil. Lalu 59 negara berkembang menghadapi rasio utang terhadap PDB di atas 60 persen ambang batas yang menunjukkan tingkat utang yang tinggi.
"Utang telah diterjemahkan menjadi beban besar bagi negara-negara berkembang karena terbatasnya akses ke pembiayaan, meningkatnya biaya pinjaman, devaluasi mata uang, dan pertumbuhan yang lamban," tulisan laporan PBB.
Selain itu, arsitektur keuangan internasional membuat akses ke pembiayaan untuk negara-negara berkembang menjadi tidak memadai dan mahal. Hal itu merujuk pada pembayaran utang bunga bersih melebihi 10 persen dari pendapatan untuk 50 negara berkembang di seluruh dunia.
"Di Afrika, jumlah yang dihabiskan untuk pembayaran bunga lebih tinggi daripada pengeluaran untuk pendidikan atau kesehatan," tulis laporan PBB.
Negara-negara menghadapi pilihan yang mustahil untuk membayar utang. Kreditur swasta seperti pemegang obligasi dan bank mewakili 62 persen dari total utang publik luar negeri negara berkembang.
Di Afrika, partisipasi kreditur ini tumbuh dari 30 persen pada 2010 menjadi 44 persen pada 2021, sementara Amerika Latin memiliki rasio kreditur swasta tertinggi yang memegang utang pemerintah eksternal untuk wilayah mana pun sebesar 74 persen.
PBB mengatakan pemberi pinjaman multilateral harus memperluas pembiayaan dengan langkah-langkah seperti penangguhan sementara biaya tambahan Dana Moneter Internasional, komisi yang dibebankan kepada peminjam yang menggunakan jalur kreditnya secara ekstensif, dan meningkatkan akses pembiayaan untuk negara-negara yang berada dalam kesulitan utang.