REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masalah sertifikat halal pada produk makanan kembali mencuat setelah selebgram Jovi Adhiguna memakan kerupuk babi di Bakso A Fung yang telah dikenal telah tersertifikasi halal. Sayangnya, justru tak sedikit yang menganggap bahwa orang-orang yang peduli terhadap pentingnya label halal terlalu fanatik.
Padahal, sertifikasi halal sendiri dibuat untuk membantu produsen atau pelaku usaha mengembangkan usahanya dengan memberikan jaminan kepada konsumen akan kehalalan produk yang dipasarkan.
Ekonom dari Institute for Demographic and Poverty Studies atau Ideas, Askar Muhammad menuturkan, sertifikasi sebetulnya punya manfaat yang signifikan, terutama untuk meningkatkan kepercayaan konsumen.
“Sertifikasi atau labelling memberikan keyakinan kepada konsumen mengenai kualitas, keamanan, dan kehalalan produk. Dengan adanya sertifikasi, konsumen dapat lebih percaya pada produk yang dibeli dan merasa lebih yakin bahwa produk tersebut memenuhi standar tertentu,” kata Askar kepada Republika.co.id, Kamis (20/7/2023).
Di satu sisi, dengan bukti halal melalui sertifikat, akan meningkatkan transparansi di pasar karena sekaligus menyediakan informasi yang jelas dan mudah dimengerti mengenai produk itu sendiri.
“Ini mendorong persaingan sehat, sertifikasi dapat menjadi alat untuk mendorong persaingan sehat di pasar. Produsen yang memenuhi standar sertifikasi tertentu akan memiliki keunggulan kompetitif atas pesaingnya yang belum bersertifikasi,” kata dia.
Di sisi lain, sertifikat halal juga sekaligus mendorong kualitas produk. Sebab, mereka yang mengikuti sertifikasi akan cenderung lebih berfokus pada kualitas produk demi dapat memenuhi standar sertifikasi yang nantinya berujung pada daya saing di pasar.
Lebih jauh, pun akan membuat pasar ekspor bagi produsen dengan bekal sertifikasi halal. “Sertifikasi seringkali menjadi persyaratan bagi produk yang akan diekspor ke pasar internasional, dengan adanya sertifikasi, produk memiliki reputasi yang lebih baik di pasar global, membuka peluang ekspor yang lebih luas dan potensial meningkatkan pendapatan ekspor negara,” kata dia.
Askar mengatakan, pada intinya sertifikasi halal berperan sebagai sinyal untuk membantu segmen pasar yang benar-benar membutuhkan produk halal. Tidak ada paksaan bagi konsumen untuk memilih produk halal.
Hanya saja, ia mencatat, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan produk Halal (JPH) mengubah paradigma bahwa dengan mewajibkan halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia.
Menurut Askar, hal itu menimbulkan permasalahan karena UU JPH seolah-olah mencabut hak konsumen untuk bebas memilih karena seluruh produsen harus mengikuti persyaratan sertifikat halal.
“Dalam pandangan kami, perlu ada reformasi pada UU JPH karena pemerintah seolah menjadi fanatik dalam menerapkan persyaratan ini,” kata dia.