Sabtu 22 Jul 2023 09:28 WIB

Cerita Sindikat Perdagangan Ginjal Bermula dari Pelaku Terlilit Utang

Ginjal para korban diambil di rumah sakit militer Preah Ket Mealea.

Rep: Ali Mansur/ Red: Teguh Firmansyah
Koordinator tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus jual ginjal bernama Hanim memberikan pengakuan di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan.
Foto: Dok Republika
Koordinator tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus jual ginjal bernama Hanim memberikan pengakuan di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bermodus jual beli ginjal, Hanim bercerita tentang awal mula sindikat perdagangan bagian organ tubuh manusia itu. Semua bermula, ketika dia menjual ginjal miliknya sendiri.

Pada saat itu, ia terdesak kebutuhan ekonomi, lantaran orang tuanya pun terlilit utang, dan tidak memiliki tempat tinggal.

Baca Juga

“Awalnya 2018 karena faktor ekonomi, orang tua saya tidak punya rumah kemudian saya usaha mentok juga, akhirnya saya cari-cari grup-grup donor ginjal," ujar Hanim di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (21/7).

Dalam pencariannya, Hanim menemukan adanya unggahan di media sosial bahwa dibutuhkan donor ginjal berikut dengan persyaratannya. Kemudian dia menghubungi seseorang yang mengunggah postingan tersebut dan mengirim persyaratan.

Lalu seseorang yang disebut broker menyuruhnya untuk menunggu di sebuah kontrakan sekitar Bojong Gede, Depok.

Beberapa waktu setelah menunggu, akhirnya ginjal milik akan diambil di sebuah rumah sakit di Jakarta. Namun upaya pengambilan ginjal di rumah sakit di dalam negeri itu gagal dilakukan, lantaran banyak tahapan atau persyaratan yang harus dipenuhi. Mulai dari adanya persetujuan dari keluarga, harus pandai berbicara, kondisi kesehatannya harus bagus.

“Setelah saya gagal di sana, kemudian saya menunggu di rumahnya broker itu dengan dalih saya ngomong ke istri kerja proyek. Setelah satu tahun saya menunggu di situ,” kata Hanim

Satu tahun kemudian, tepatnya pada bulan Juli 2019, Hanim bersama dua orang lainnya satu diantaranya seorang perempuan diberangkatkan ke Kamboja oleh brokernya. Di Negara Angkor Wat itu ia bertemu dengan dengan Miss Huang yang menghubungkan dengan pihak rumah sakit setempat.

Kemudian Hanim bersama dua orang itu dilakukan medical check up, hasilnya dia bersama seorang perempuan lolos sedangkan satu temannya gagal.

"Kemudian saya dipertemukan oleh pasien, saya dapat pasien dari Singapura dan kemudian teman saya pasiennya dari Indonesia juga. Besoknya itu dilakukan operasi,” ungkap Halim.

Setelah tindakan operasi pengambilan ginjal selesai dilakukan, Hanim menjalani masa penyembuhan sekitar 10 hari  di rumah sakit. Kemudian dia dipulangkan ke Indonesia dan istirahat sekitar dua bulan di Indonesia. Hanim mengaku mendapatkan bayaran hanya Rp 120 juta untuk satu ginjal yang diambil. 

"Setelah itu saya dipanggil lagi oleh broker itu untuk menjadi koordinator di Kamboja, untuk mengurus anak-anak di Kamboja," cerita Halim.

Selanjutnya, Hanim menerima tawaran menjadi koordinator sindikat penjualan ginjal tersebut. Dia bertugas untuk mengurus konsumsi calon pendonor atau korban yang datang dari Indonesia.

Lalu ia berangkat ke Kamboja dengan membawa empat orang yang hendak menjual ginjalnya. Kemudian empat orang tersebut menjalani medical check up, tapi karena pasien atau penerima ginjal itu ada dua orang maka dua orang korban dipulangkan lagi ke Indonesia.

“Setelah kami pulang lagi ke Indonesia, kemudian tiga mingguan saya memberangkatkan lagi sekitar enam orang termasuk dua orang yang disana. Saya dibayar tidak tentu, malah kadang satu bulan itu Rp 5 juta, Rp 7 juta, jadi nggak tentu,” terang Hanim.

Dalam kasus ini, sebanyak 122 orang telah menjadi korban dan ginjal milik korban dijual dengan harga Rp 200 juta. Ginjal para korban diambil di rumah sakit militer Preah Ket Mealea yang terletak di wilayah Phnom Penh, ibukota Kamboja. Rumah sakit militer tersebut di bawah kendali pemerintah Kamboja.

Penyidik telah menangkap dan menetapkan sebanyak 12 orang sebagai tersangka dalam kasus TPPO dengan modus penjulan organ tubuh ginjal. Dua diantaranya merupakan oknum kepolisian berinisial Aipda M dan oknum Imigrasi berinisial AH. Diduga Aipda M menerima uang dari sindikat hingga Rp 612 milyar dan AH menerima Rp 3,5 juta per orang yang berangkat ke Kamboja. 

"Para sindikat Indonesia terima pembayaran Rp 200 juta, (lalu) Rp 135 juta dibayar ke pendonor. Sindikat terima Rp 65 juta perorang dipotong ongkos operasional pembuatan paspor, naik angkutan dari bandar ke rumah dan dan sebagainya," jelas Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi. 

Menurut Hengki, total omzet yang didapat para sindikat sejak tahun 2019 sampai dengan tahun 2023 sebesar Rp 24,4 milyar. Angka tersebut didapat dari hasil penjualan ginjal sebanyak 122 korban. Latar belakang dari para korban cukup bervariasi mulai dari pedagang, guru hingga ada yang lulusan strata 2 atau S2 di perguruan tinggi terkemuka.  

"Para pelaku memanfaatkan posisi rentan para korban yang umumnya kesulitan secara finansial dan mengeksploitasi korban demi memperoleh keuntungan. Para korban dijanjikan diberi uang Rp 135 apabila berhasil mendonorkan ginjalnya," ujar Hengki.

Kasus ini TPPO modus jual ginjal sendiri terungkap berangkat dari informasi intelijen. Kemudian kepolisian menggerebek sebuah rumah yang diduga menjadi tempat penampungan penjualan ginjal ini terletak di Perumahan Villa Mutiara Gading, Jalan Piano 9, Blok F5 Kelurahan Setia Asih, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

Diduga di rumah tersebut, para korban TPPO ditampung untuk selanjutnya dikirim ke Kamboja untuk diambil ginjalnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement