REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center of Digital Economy and SMEs INDEF Nailul Huda menilai tidak ada alasan mendesak bagi Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan untuk tidak merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 yang akan mengatur perdagangan di social commerce, seperti Tiktok Shop yang mengancam UMKM.
"Kalau ada langkah-langkah yang menghambat revisi itu mohon Menteri Zulhas untuk memanggil anak buahnya, kok lama? Karena jujur, ini sudah terlalu lama dan merugikan masyarakat," kata Peneliti Indef Huda dalam Diskusi Publik "Project S Tiktok: Ancaman atau Peluang," yang disaksikan secara daring di Jakarta, Senin (24/7/2023).
Huda menilai Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sudah sangat bagus dalam mengatur perdagangan melalui e-commerce dan hanya dibutuhkan sedikit revisi untuk mengatur perdagangan melalui social commerce yang merupakan cara berbelanja mengandalkan interaksi media sosial.
Melalui revisi aturan tersebut, Huda menilai akan memberikan level playing field yang sama antara pelaku penjualan online, baik itu produk lokal UMKM maupun produk impor serta memberikan perlindungan bagi pelaku UMKM.
"Kita sama-sama ingin memberikan ekonomi digital yang inklusif artinya ekonomi digital ini dinikmati oleh banyak pihak, baik penjual, konsumen, maupun platform. Ini yang perlu dicermati dari revisi Permendag 50 Tahun 2022," ujarnya.
Huda memaparkan, sejak pandemi terdapat pertambahan pola belanja masyarakat yang bukan hanya melalui e-commerce melainkan juga social commerce.
TikTok tercatat sebagai aplikasi media sosial yang paling populer dalam melakukan transaksi jual beli. Survei Populix 2022, menunjukkan Tiktok Shop merupakan aplikasi media sosial terpopuler yang juga menyediakan fitur jual beli.
Nilai penjualan melalui social commerce secara global diprediksi meningkat secara tajam hingga 2026 dengan peningkatan tiga kali lipat dibandingkan tahun 2022 atau naik dari 992 miliar dolar AS menjadi 2.900 miliar dolar AS. Di sisi lain, produk lokal yang dijual di penjualan online relatif kecil dan persentase barang impor terus meningkat.
"Impor meningkat seiring dengan adanya e-commerce boom dan social commerce boom, akibatnya banyak seller yang tidak menjual produknya sendiri," kata Huda.
Oleh karenanya, Huda menekankan agar Mendag segera menyempurnakan Permendag Nomor 50 Tahun 2022 yang saat ini baru mengatur transaksi perdagangan.
"Perlu ada peraturan terkiat dengan penyelenggaraan sarana perantara karena sering digunakan sebagai kedok social commerce untuk dalih bukan tempat jual beli. Peraturan mengenai barang impor dimana harus ada di deskripsi barang di setiap jendela barang," ujar dia.