REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) mengatakan neraca transaksi berjalan yang positif membantu dalam menjaga stabilisasi rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
“Pada tahun 2022, Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara berkembang yang membukukan neraca berjalan positif. Surplus perdagangan tersebut telah berhasil meredam dampak pengetatan moneter yang dilakukan oleh The Fed,” kata ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky dalam laporan Indonesia Economic Outlook Q3-2023 di Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Surplus transaksi berjalan pada 2022 tercatat sebesar 13,2 miliar dolar AS atau 1,0 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Riefky mengatakan capaian tersebut lebih baik bila dibandingkan sejumlah negara berkembang lain yang justru mengalami defisit neraca berjalan, seperti Thailand, Filipina, Brasil, dan Meksiko.
Surplus perdagangan juga membuat rupiah aman dari depresiasi akibat pengetatan moneter The Fed. Hal itu didukung ekspor yang lebih tinggi daripada impor sehingga mengindikasikan lebih banyak likuiditas valuta asing di pasar. Selain surplus neraca perdagangan, kinerja rupiah juga ditentukan oleh pasar keuangan.
Riefky menjelaskan Indonesia memiliki keuntungan dari menguatnya permintaan obligasi. Hal itu seiring dengan selisih imbal hasil antara obligasi pemerintah Indonesia dan US Treasury tetap cukup menarik setelah episode pengetatan moneter yang kurang agresif oleh The Fed.
“Untungnya, pasar keuangan Indonesia terus menunjukkan kinerja yang lebih baik pada kuartal II 2023,” ujar Riefky.
Jumlah total modal masuk ke Indonesia meningkat hampir dua kali lipat dari 2,67 miliar dolar AS pada akhir Maret 2023 menjadi 5,29 miliar dolar AS pada akhir Juni 2023. Jeda kenaikan suku bunga oleh The Fed pada Juni juga terus menjaga modal masuk menjadi total 5,48 miliar dolar AS pada pertengahan Juli.
Pasar keuangan yang relatif stabil juga tercermin dari cadangan devisa yang cukup sebesar, yakni 137,5 miliar dolar AS pada bulan Juni.
Meski sedikit melemah dari 139,3 miliar dolar AS pada Mei, namun Riefky menyebut tingkat cadangan devisa saat ini masih cukup untuk mendukung ketahanan sektor eksternal karena mampu menutup 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.