Selasa 15 Aug 2023 12:34 WIB

Teori Injak Gas-Rem dan Ekonomi yang 'Baik-Baik' Saja

Kontrol rem dan gas ini berkaitan erat dengan kondisi ekonomi memasuki fase ekspansi.

Staf teller melayani nasabah di Kantor Bank Jago, Jakarta, Selasa (7/2/2023). Bank Jago sebagai salah satu bank digital di tanah air terus memperluas ekosistem dan diversifikasi risiko demi meningkatkan akses keuangan kepada masyarakat.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Staf teller melayani nasabah di Kantor Bank Jago, Jakarta, Selasa (7/2/2023). Bank Jago sebagai salah satu bank digital di tanah air terus memperluas ekosistem dan diversifikasi risiko demi meningkatkan akses keuangan kepada masyarakat.

Oleh : Elba Damhuri, Jurnalis Ekonomi/Podcaster

REPUBLIKA.CO.ID, -- Jumat pagi itu, saya diundang mendengarkan sharing perkembangan ekonomi dan perbankan Indonesia 2023 bersama Dirut Bank Jago, Arief Harris Tandjung, di kawasan Mega Kuningan Jakarta. Kopi hitam panas nan sedap dan pemandangan asap pekat polusi menyelimuti Jakarta menjadi teman diskusi hangat di pagi itu.

"Itu bukan kabut," kata Arief sambil menunjuk ke kaca gedung. "Kualitas udara sedang tidak bagus saat ini."

Jakarta memang sedang dikepung kabut asap berbahaya belakangan hari ini. Plt Gubernur DKI Heru Budi Hartono mengumandangkan kembali bekerja dari rumah alias WFH. Pegiat kesehatan menyarankan masyarakat disiplin menggunakan masker selama di luar ruang di Jakarta.

Namun begitu, kata Arief, ekonomi Indonesia jelas tidak sesuram asap pekat yang menyelimuti Jakarta. "Ekonomi Indonesia baik-baik saja meski tantangan eksternal begitu tinggi," lanjut bankir yang sudah bekerja 20 tahun lebih di industri perbankan itu.

Ada beberapa indikator penting yang memperlihatkan klaim Arief. Pertama, dari sisi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2023. 

Ekonomi global boleh melambat, namun Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan II 2023 tercatat 5,17 persen dari tahun ke tahun (yoy). Ini berarti naik dari pertumbuhan pada triwulan I sebesar 5,04 persen (yoy). 

Arief menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini didukung oleh peningkatan permintaan domestik dan investasi. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,23 persen seiring dengan naiknya mobilitas, membaiknya ekspektasi pendapatan, terkendalinya inflasi, dampak positif hari besar keagamaan​, dan pemberian gaji ke-13 kepada Aparatur Sipil Negara. 

Investasi tumbuh menjadi 4,63 persen didorong terutama oleh perbaikan investasi nonbangunan yang tecermin dari membaiknya pertumbuhan impor barang modal. Kedua sumber pertumbuhan ini dinilai Arief bersifat berkelanjutan yang akan terus menopang ekonomi nasional.

Yang menarik, belanja tinggi masyarakat juga terjadi pada bisnis hiburan. Konser-konser musik dan pertunjukan dipadati penonton, juga pertandingan-pertandingan olahraga seperti sepak bola.

Indikator kedua, Arief menyebut faktor inflasi Juli dan tahunan yang masih rendah. Inflasi Juli 2023 berada di angka 3,08 persen untuk tahun ke tahun dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) 115,24. Inflasi bulan ke bulan Juli 2023 sebesar 0,21 persen dan tingkat inflasi sepanjang 2023 ada di 1,45 persen.

Inflasi rendah berarti daya beli masyarakat terjaga, harga barang-barang pokok relatif stabil, dan industri perbankan punya ruang besar untuk terus ekspansif. Tentu, dengan memperhitungkan sejumlah risiko yang terukur.

Tak heran jika belanja masyarakat terus tinggi, barang-barang primer dan sekunder diburu, hingga tempat-tempat keramaian dipadati. Rekreasi dan healing pun ikut tumbuh seiring dengan stabilnya pendapatan masyarakat.

Faktor ketiga, Arief menyinggung surplus neraca perdagangan yang tercatat positif 39 kali beruntun. BPS melaporkan perdagangan luar negeri Indonesia mencatat surplus sebesar 1,31 miliar dolar AS pada Juli 2023. Angka itu lebih rendah dibanding surplus pada Juni 2023 yang sebesar 3,45 miliar dolar AS.

Surplus berasal dari nilai ekspor yang lebih besar daripada nilai impor. Ekonomi yang tumbuh tentu memberikan kontribusi bagi naiknya ekspor dan impor. Manufaktur butuh barang-barang dasar impor dan hasil produksi nasional dijual di luar negeri.

Bagi Arief, perkawinan membaiknya kondisi ekonomi makro dengan stabilitas politik yang kuat seperti saat ini menjadi modal besar bagi Indonesia untuk terus bergerak ke depan. Apalagi, di tahun politik yang "panas" ini kedua modal tersebut ikut menopang tingginya keyakinan masyarakat atas perekonomian Indonesia.

Industri perbankan ikut menikmati kuatnya pondasi ekonomi Indonesia ini. Siklus ekonomi yang ditandai dengan persaingan ketat suku bunga di Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dan masih melambatnya ekonomi global ternyata tidak menyurutkan kinerja dan pertumbuhan perbankan nasional.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo jelas memiliki perhitungan matang dan cermat dengan tetap menjaga suku bunga acuan BI di angka 5,75 persen. Pada saat bersamaan, suku bunga the Fed juga mencapai 5,25-5,50 persen.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 24-25 Juli 2023 mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen, suku bunga Deposit Facility 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility 6,50 persen. 

Meski terkesan head to head BI versus the Fed, namun kondisi ekonomi makro tetap terjaga dan perbankan tetap bisa ekspansif. Di sinilah "teori" rem-gas perbankan dimainkan dengan memperhitungan berbagai risiko yang muncul.

"Teori" Injak Rem dan Gas...

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement