Senin 28 Aug 2023 16:53 WIB

Tak Hanya Larang Abaya, Sebelumnya Prancis 'Jegal' Pemain Sepak Bola Berhijab

Pemerintah Prancis akan melarang penggunaan abaya di sekolah bagi Muslimah.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Qommarria Rostanti
Dua Muslimah mengenakan abaya dan cadar sedang belanja di pusat kota Paris, Prancis (ilustrasi). Pemerintah Prancis tak hanya melarang abaya, tapi juga melarang pemain sepak bola Muslimah pakai hijab.
Foto: ap
Dua Muslimah mengenakan abaya dan cadar sedang belanja di pusat kota Paris, Prancis (ilustrasi). Pemerintah Prancis tak hanya melarang abaya, tapi juga melarang pemain sepak bola Muslimah pakai hijab.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Prancis dikabarkan akan melarang setiap Muslimah memakai abaya di sekolah. Ini bukan pertama kalinya, pemerintah setempat mempertontonkan "sekularisme ekstrem" di negaranya. Sebelumnya, mereka melarang pemain sepak bola Muslimah memakai hijab.

Dilansir laman Middle East Eye pada Senin (28/8/2023), ketika umat Islam di seluruh dunia sedang menikmati perayaan Idul Adha pada Juni 2023, pengadilan administratif tertinggi Prancis justru memutuskan bahwa French Football Federation (FFF) akan terus melarang pemain berhijab berada di lapangan. Keputusan itu secara efektif menghilangkan semua kesempatan bagi perempuan berhijab untuk berpartisipasi dalam kegiatan sepak bola, termasuk bermain, melatih, memimpin, dan berpartisipasi di level sepakbola mana pun di Prancis.

Baca Juga

Persoalan di balik semua ini berakar pada laïcité yaitu konsep sekularisme Prancis dan alasan FFF ingin menjauhkan simbol agama dari sepakbola. FFF menyatakan, mengizinkan jilbab di dalam atau di dekat lapangan bertentangan dengan undang-undang sekularisme pada 1905.

Namun Les Hijabeuses, kumpulan perempuan muda di Prancis yang menentang kebijakan diskriminatif FFF berpendapat bahwa beberapa pemain non-Muslim melakukan gerakan salib sebelum keluar lapangan, serta memiliki tato bergambar tokoh dan simbol Kristen yang terlihat jelas. Oleh karena itu, aturan tersebut dinilai tidak diterapkan secara merata.

Peraturan ini terutama diterapkan pada perempuan berkulit cokelat dan kulit hitam yang beragama Islam dan mengenakan jilbab, meskipun peraturan ini juga melarang kippah dan sorban di lapangan, tapi tidak termasuk pemain pria Yahudi dan Sikh. Keputusan pengadilan Prancis yang melarang pemain berhijab masuk ke lapangan merupakan sebuah tamparan keras bagi siapa pun yang mengadvokasi kesetaraan gender dalam sepak bola. Namun hanya sedikit yang tahu dan bahkan lebih sedikit lagi yang mau angkat bicara.

Federasi Sepak Bola Internasional atau FIFA pertama kali melarang jilbab pada 2007, namun menghapus larangan mereka sendiri pada 1 Maret 2014. Ada upaya dari pihak-pihak yang berada di ekosistem sepak bola untuk membawa jilbab ke kancah global, dan mereka berhasil. Dari situlah sepak bola wanita mulai terus berkembang.

Setiap negara di dunia telah memberikan akomodasi, kecuali Prancis, yang semakin memperketat kebijakan diskriminatifnya dan memberlakukan undang-undang yang dengan sengaja mengecualikan perempuan dari hak untuk berolahraga. Padahal pada 2019, Prancis menjadi tuan rumah Piala Dunia Wanita, merayakan sepak bola serta pertumbuhan dan pencapaian atlet wanita sambil mengenyampingkan beberapa atlet lain di negara tersebut untuk berpartisipasi. 

Ada pula diskusi panel jaringan FARE bersama pakar hukum Prancis Rim-Sarah Alouane, sosiolog olahraga Haifa Tilli, dan dua wanita yang aktif di komunitas Muslim, Mariem Sabil dan Fatiha Abjli. Dari acara-acara tersebut, absurditas Prancis sangat lucu. Namun empat tahun kemudian, diskriminasi terus berlanjut. Untaian Twitter Dr Tlili yang mengikuti berita tentang keputusan pengadilan Prancis dipenuhi rasa frustrasi dan dia pantas merasakan hal ini.

Bersikeras bahwa perempuan harus melepas jilbabnya sebelum bermain, bukanlah solusi. Perempuan yang memilih untuk menutup aurat sering kali melakukannya karena alasan yang sangat pribadi dan spiritual.

Dampak yang ditimbulkan dari upaya ini terhadap para aktivis yang memerangi penindasan dan pengucilan dalam sepakbola tidak bisa dilebih-lebihkan. Sudah saatnya masalah ini diatasi dan kebijakan diskriminatif terhadap muslimah dan komunitas marginal lainnya, dibatalkan.

Mendukung perempuan berarti memberi mereka pilihan, bukan ultimatum. Apalagi kemudian menyaksikan Zinedine Zidane mengangkat trofi Piala Dunia untuk Prancis. Ketika Prancis menjuarai Piala Dunia 2018, ironi sekali bahwa Prancis "memanfaatkan" laki-laki Muslim untuk kesuksesan mereka, namun menolak saudara perempuan, ibu, dan anak perempuan mereka dari olahraga yang sama.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement