REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Viral di lini massa Twitter (X) tentang fenomena mahasiswa yang terlibat dalam urusan pinjaman pribadi (Pinpri). Ada mahasiswa di beberapa kampus yang menjadi pemberi pinjaman dengan menerapkan bunga tinggi dan persyaratan cukup mudah bagi peminjam.
Hal itu telah menimbulkan masalah, di mana pemberi pinjaman alias "lintah darat" ini kerap melakukan doxing alias menyebarkan data peminjam yang terlilit utang. Fenomena ini ramai dibahas warganet di akun @PartaiSocmed. “Tetiba banyak Avkor yg DM karena terjerat piinpri,” tulis akun tersebut, dikutip Kamis (31/8/2023).
Ada pula "lintah darat" yang diketahui merupakan mahasiswa dengan jabatan bendahara di organisasi Himpunan Mahasiswa kampus. Psikolog Anak dan Remaja dari Insight Psikologi, Alfa Restu Mardhika, mengatakan, kemungkinan mahasiswa tersebut berani menjadi lintah darat karena merasa memiliki kekuasaan.
“Dia (mahasiswa) merasa punya kekuatan dan untuk pihak kampus lebih ke pengawasan dekan untuk kemahasiswaan harus memantau agar tidak ada kegiatan-kegiatan yang sifatnya membahayakan mahasiswa,” kata Alfa saat dihubungi, Kamis (31/8/2023).
Menurut Alfa, bagi lintah darat ini, boleh jadi karena ia menangkap peluang. Sebab lintah darat ini tidak mungkin berkembang jika tidak ada market atau penggunanya.
“Karena ada satu model atau satu mahasiswa dan yang lain minjam, yang penting gaya gak usah mikir, yang meminjamkan pun berpikir ternyata gampang ya menghasilkan duit gak susah-susah dapat uang lebih gede, itu saling modeling, saling lihat,” kata Alfa.
Usia remaja adalah fase mengidentifikasi diri. Meskipun mereka mungkin tidak tahu detail dari mana sumber uangnya, yang penting berpikir ada cara gampang untuk meminjam.
Mereka berpikir yang penting mendapat pinjaman dulu dengan jalan pintas yang mudah karena tidak perlu jaminan apa-apa. Alfa mengatakan di zaman semarang, anak-anak dan remaja juga banyak terpapar hal-hal yang berbau materi.
Misalnya, banyak iklan atau konten perbandingan gaji dengan gaya seseorang. Sehingga fenomena di media sosial juga menuntut gaya hidup hedonis dan flexing dari anak dan remaja.
“Harus punya, harus bisa gaya. Pengaruh zaman juga serba praktis bukan berarti diputus daya juangnya sebenarnya kelihatannya remaja apa-apa itu diukur dari media sosial, kayaknya indah image positif padahal belum tentu,” ujar Alfa.