REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Dr Tajul Arifin, menyampaikan pandangan kritisnya terhadap fenomena pengiriman santri untuk belajar ke Tiongkok hingga ke Barat.
Menurut dia, pengiriman santri Indonesia untuk belajar ke Tiongkok atau Barat ada dampak negatif dan positif. Sang profesor mengakui bahwa ada hal baik dari pengiriman pelajar santri ke Tiongkok dan Barat, ada juga mudaratnya.
“Berbeda dengan pengalaman para santri studi ke Barat, di mana kebanyakan minimal untuk studi lanjut pada level S2, sehingga secara ideologi mereka sudah kuat,” ucap Prof Tajul dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/9/2023).
Tetapi saat ini, para santri yang berangkat ke Tiongkok kebanyakan mulai dari tamatan SMA, sehingga masih berpengetahuan dangkal dan mudah dipengaruhi. Belum lagi setelah kembali ke Indonesia, mereka harus bisa mengajarkan bahasa Mandarin untuk daerah asalnya.
Apalagi dalam pandangan Prof Tajul Arifin, para kiai dan kaum santri dalam sejarah memainkan peran penting sebagai garda terdepan dalam membela dan mempertahankan negara dan ideologi Pancasila.
Selain itu, Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) yang juga pemerhati Tiongkok dan Tionghoa dari Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto, mengatakan bahwa upaya Tiongkok menanamkan kuasa lunaknya di Indonesia dilakukan antara lain dengan merangkul elite bisnis, termasuk komunitas Tionghoa.
Instansi yang memainkan peran penting dalam upaya tersebut adalah United Front Work Departmen (UFWD). Organisasi ini bertugas melakukan upaya penggalangan dan mempengaruhi berbagai pihak.
Menurut Johanes, UFWD memiliki pengaruh terhadap kelompok-kelompok di luar partai dan membentuk koalisi dari berbagai kelompok. Mereka juga bisa memberi pengaruh pada partai politik negara lain, komunitas diaspora, dan perusahaan-perusahaan multi nasional.